Technology

Teori Dasar Pendekatan dalam Pengkajian Islam (Charles J. Adams)


Teori Dasar Pendekatan dalam Pengkajian Islam
(Charles J. Adams)

Oleh : Ade Ardo Fittra
Abstract:
This paper specifically discusses the ideas of Charles J. Adams about the pattern and approach to Islamic studies, particularly those contained in the results of his research “Islamic Religious Tradition”. This paper is written in the form of book reviews as well as comment and analysis about the direction and pattern of methodological Adams in studying Islam.
There are four approaches used by Adams in the study of Islam, religious or normative approach; Philological and historical approach, social-scientific approach and phenomenological approach. Also in the study area, Adams split into several areas, namely: pre-Islamic Arabia, Muhammad, the Qur’an, Hadith, Kalam, Tasawwuf, Philosophy, Islamic Sects (Shi’a), worship and Devotional life and popular religion .

Kata kunci: Studi Islam, Multidipliner,Pemikiran Charles J. Adams


PENDAHULUAN
Islam telah menjadi kajian yang menarik banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.
Untuk menjadikan dimensi islam yang lebih luas dan utuh inilah maka Charles J Adams dalam bukunya The Study Of The Middle East menjelaskan tentang apa itu islam dan agama agar dapat didefinisikan dengan tepat sesuai dengan konteksnya. Namun, terdapat kesulitan yang sangat esensial dalam melakukan kajian terhadap Islam menurut Charles J Adams. Hal ini terkait adanya kesulitan untuk membuat batasan atas dua unsur, yaitu; islam dan tradisi keagamaan. Problem terpenting adalah belum adanya definisi yang tepat dan universal terhadap kedua terminologi tersebut diatas.[1]
Hal mendasar yang penting dipahami dalam studi Islam adalah definisi Islam dan Agama. Bagi Adams sangat sulit dicapai sebuah rumusan yang dapat diterima secara umum mengenai apakah yang disebut Islam itu? Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu berubah, berkembang dan terus berkembang dari generasi ke generasi dalam merespon secara mendalam realitas dan makna kehidupan ini. Islam adalah “an ongoing process of experience and its expression, which stands in historical continuity with the message and influence of the Prophet. Sedangkan konsep agama menurut Adams melingkupi dua aspek yaitu pengalaman-dalam dan perilaku luar manusia (man’s inward experience and of his outward behavior).
Dalam melihat dan mendefinisikan agama Islam, Adams menggunakan kerangka teoretis dari Wilfred Cantwell Smith yang membedakan antara tradition dan faith. Agama apapun, termasuk Islam, memiliki aspek tradition yaitu aspek eksternal keagamaan, aspek sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam masyarakat, dan aspek faith yaitu aspek internal, tak terkatakan, orientasi transenden, dan dimensi pribadi kehidupan beragama. Dengan pemahaman konseptual seperti ini, tujuan studi agama adalah untuk memahami dan mengerti pengalaman pribadi dan perilaku nyata seseorang. Studi agama harus berupaya memiliki kemampuan terbaik dalam melakukan eksplorasi baik aspek tersembunyi maupun aspek yang nyata dari fenomena keberagamaan. Karena dua aspek dalam keberagamaan ini (tradition and faith, inward experience and outward behavior, hidden and manifest aspect) tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Menurut Adams tidak ada metode yang canggih untuk mendekati aspek kehidupan-dalam individu dan masyarakat beragama, tetapi sarjana harus menggunakan tradisi atau aspek luar keberagamaan sebagai landasan dalam memahami dan melakukan studi agama. Sebagai tantangan dalam mengkaji Islam sebagai sebuah agama harus melampui dimensi tradisi atau aspek luar agar mampu menjelaskan dimensi kehidupan-dalam dari masyarakat Islam. Untuk menjawab tantangan dan tugas para pengkaji Islam, Adams merekomendasikan dua pendekatan yang diletakkan pada sebuah garis kontinum yaitu merentang dari pendekatan normatif sampai dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif adalah pendekatan yang dijiwai oleh motivasi dan tujuan keagamaan, sedangkan pendekatan deskriptif muncul sebagai jawaban terhadap motivasi keingintahuan intelektual atau akademis.



PEMBAHASAN 
A.    Biografi Charles J. Adam
Charles Joseph Adams lahir pada tanggal 24 April 1924 di Houston, Texas. Pendidikan dasarnya diperoleh melalui sistem sekolah umum. Pada permulaan belajar di sekolah dasar ini Adams telah menunjukkan kegemaran menulis. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas John H. Reagen pada tahun 1941, dia meneruskan di Baylor University di Waco, Texas. Adams juga pernah bergabung dengan Angkatan Udara Amerika Serikat dari tahun 1942 sampai dengan 1945 sebagai operator radio dan mekanis. Setelah perang, tahun 1947 Adams memperoleh gelar Sarjana dan pada tahun yang sama memasuki Graduate School di Universitas Chicago bersama dengan Joachim Wach.
Karir akademisi Adams adalah profesor dalam bidang Islamic Studies dan pada tahun 1963 diangkat menjadi director Institute of Islamic Studies McGill University selama 20 tahun. Adams menerima Ph. D dalam History of Religion dari University of Chicago pada tahun 1955 dengan disertasi berjudul “Nathan Soderblom as an Historian of Religions”. Adams telah menulis banyak tentang Islam, salah satu karya terbesarnya yang dijadikan teks penting bagi dosen dan mahasiswa agama adalah A Reader’s Guide to the Great Religions (1977). Adams juga menjadi konstributor artikel untuk The Encyclopedia Britannica, dan the World Book Encyclopedia, dan Encyclopedia Americana. Beberapa karya lainnya adalah The Encyclopedia of Religion (1987), “The Authority of the Prophetic Hadith in the Eye of Some Modern Muslims, in Essays on Islamic civilization presented to Niyazi Berkes (1976), the Ideology of Maulana Maududi, in South Asian Politics and Religion, Ed. Donald E. Smith (1966), dan Islamic Religious Tradition, dalam Leonard Binder, The Study of the Middle East, Ed. (1976).[2]

B.     Beberapa pendekatan studi Islam. 
1.      Pendekatan Normatif atau Keagamaan
Pendekatan ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a)      Pendekatan Misionaris Tradisional (Traditional Missionary Approacch)
Pendekatan ini muncul dan digunakan pada abad ke-19 pada saat semaraknya aktivitas misionaris di kalangan gereja dan sekte Kristen dalam rangka merespon perkembangan pengaruh politik, ekonomi dan militer negara Eropa di beberapa bagian Asia dan Afrika.[3] Para misionaris tertarik mengetahui dan mengkaji Islam dengan tujuan untuk mempermudah mengkristenkan orang beragama lain (proselytizing). Metode yang digunakan adalah komperatif antara keyakinan Islam dengan keyakinan Kristen yang senantiasa merugikan Islam. Harus diakui konstribusi para misionaris adalah sebagai konstributor awal untuk pertumbuhan ilmu Islam.
Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para missionaris berusaha dengan sungguh untuk membangun dan menciptakan pola hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat setempat. Begitu juga dengan penjajah, mereka harus mempelajari bahasa daerah setempat dan bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat kultural. Dengan demikian, eksistensi dua kelompok itu, missionaris tradisional dan penjajah (yang sama-sama beragama Kristen) mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam.
Dalam konteks itu, karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan missionaris Kristen–, maka Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi Islam.[4]
b)     Pendekatan Apologetik (Apologetic Approach)
Ciri dan karakter pemikiran Muslim pada abad ke-20 adalah pendekatan apologetik. Pendekatan apologetik muncul sebagai respon umat Islam terhadap situasi modern. Di hadapkan pada situasi modern, Islam ditampilkan sebagai agama yang sesuai dengan modernitas, agama peradaban seperti peradaban Barat. Pendekatan apologetik merupakan salah satu cara untuk mempertemukan kebutuhan masyarakat terhadap dunia modern dengan menyatakan bahwa Islam mampu membawa umat Islam ke dalam abad baru yang cerah dan modern. Tema seperti ini menjadi fokus kajian para penulis buku dari kalangan Islam atau Barat seperti Sayyid Amir Ali dengan bukunya The Spirit of Islam (1922), W.C. Smith, Modern Islam in India (1946), dan Islam in Modern History (1957).[5]
Konstribusi para pengkaji Islam dengan pendekatan apologetik tersebut adalah melahirkan pemahaman tentang identitas baru terhadap Islam bagi generasi Islam dan terbentuknya kebanggaan yang kuat bagi mereka. Kajian apologetik ini telah dapat menemukan kembali berbagai aspek sejarah dan keberhasilan Islam yang sempat terlupakan oleh masyarakat. Hasilnya dapat dilihat dalam banyak aktivitas penelitian dan karya tulis yang menekankan pada warisan intelektual, kultural, dan agama Islam sendiri.
Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan kontribusi yang positif dan cukup berarti terhadap generasi Islam dalam banyak hal. Sumbangsih yang terpenting adalah menjadikan generasi Islam kembali percaya diri dengan identitas keislamannya dan bangga terhadap warisan klasik. Dalam konteks pendekatan studi Islam, pendekatan apologetik mencoba menghadirkan Islam dalam bentuk yang baik. Sayangnya, pendekatan ini terkadang jatuh dalam kesalahan yang meniadakan unsur ilmu pengetahuan sama sekali.
Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam tiga hal. Pertama, metode yang berusaha mempertahankan dan membenarkan kedudukan doktrinal melawan para pengecamnya. Kedua, dalam teologi, usaha membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Ketiga, apologetik dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan dan membenarkan dogma dengan argumen yang masuk akal. Ada yang mengatakan bahwa apologetika mempunyai kekurangan internal. Karena, di satu pihak, apologetik menekankan rasio, sementara di pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama yang pokok dan tidak dapat ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik, rasional dalam bentuk, tetapi irasional dalam isi.
c)      Pendekatan Irenik (Irenic Approach)
Sejak Perang Dunia II,  gerakan yang berakar dari lingkungan keagamaan dan universitas tumbuh di Barat. Gerakan itu bertujuan untuk memberikan apresiasi yang baik terhadap keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap apresiatif itu. Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh barat, khususnya Kristen Barat, terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah praktis yang dilakukan adalah membangun dialog antara umat Islam dengan kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang saling menguntungkan antara tradisi kegamaan dan bangsa.[6]
Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi itu adalah melalui pendekatan irenic. Usaha ini pernah dilakukan oleh Kenneth Gragg, seorang yang mumpuni dalam kajian Arab dan teologi.[7] Melalui beberapa seri tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahsa yang puitis, ia telah cukup berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi Islam. Karenanya, menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataan ini.
Tokoh lain yang telah mengembangkan pendekatan ini adalah W.C. Smith yang mensosialisasikan konsep ini melalui buku dan tulisan-tulisannya yang lain. Smith sangat concern pada persoalan diversitas (perbedaan) agama. Menurutnya, perbedaan agama (religious diversity) merupakan karakter dari ras/bangsa manusia secara umum, sedang eksklusifitas agama (religous exclusiviness) merupakan karakter dari sebagian kecil dari umat manusia. 


2.      Pendekatan Deskriptif
a)      Pendekatan Filologi dan Sejarah (Philological and Historical Approach)
Perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa pendekatan Filologi dan Historis meski sedikit berbeda namun dalam prakteknya berjalan beriringan. Karena, sebab inilah kemungkinan besar yang mendorong Adams untuk menyatukannya.
Sebagaimana dalam kamus ilmiah, filologi adalah studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah karya-karya sastra atau sumber-sumber tertulis miliknya.[8] Jadi dalam konteks ini pendekatan filologi ialah sebuah pendekatan studi agama (Islam) yang memfokuskan kajiannya pada naskah-naskah atau sumber-sumber keagamaan guna mengetahui budaya dan kerohanian keagamaan tersebut. Menurut keyakinan filolog, aspek kehidupan dan kesalehan suatu agama hampir seluruhnya bisa diketahui melalui kesan-kesan dalam naskah atau literatur.[9]
Karena filologi banyak berkutat dalam kebahasaan, maka kunci utama filologi ialah bahasa. Seorang filolog setidaknya harus menguasai bahasa sumber, jika dalam Islam ialah bahasa Arab. Selain itu, menurut Adams seorang filolog yang sedang mengkaji Islam idealnya juga menguasai bahasa-bahasa tambahan lainnya, yakni Bahasa Persia, Urdu, Turki, Melayu dan Indonesia. Hal ini karena dari wilayah-wilayah itu banyak muncul literatur-literatur yang diidentikkan dengan Islam.[10]
Kemudian pendekatan historis ialah pendekatan yang menelusuri arti dan makna bahasa yang sudah tertulis sebagaimana dipahami pada saat pengarang menulisnya. Selain itu, pendekatan historis juga menelusuri hubungan karya satu dengan karya-karya lainnya, sehingga kualitas unsur-unsur kesejarahannya dapat diketahui. Objek sasaran pendekatan historis diantaranya sebagai berikut:
1)      Perubahan literarur dengan bahasanya sebagai akibat penerbitan ulang.
2)       Fungsi dan tujuan literatur tersebut ketika dibuat.
3)      Kedudukan pengarang pada saat membuat (jika manusia).
4)      Literatur sebagai wakil zamannya.[11]
Dari sini maka bisa diketahui dengan jelas bahwa hubungan antara pendekatan filologi dan pendekatan historis ialah sangat erat, bahkan bisa dikatakan sama. Dan dari sini pula bisa diambil pemahaman bahwa pendekatan filologis historis setidaknya mempunyai beberapa kata kunci, yakni naskah, bahasa, makna, pengarang, asal-usul atau latar belakang kesejarahan naskah, dan hubungan antar naskah. Jika menurut Muhammad Latif, pendekatan filologis historis mencakup tiga hal yang saling bertautan, yakni tafsir, content analysis, dan hermeneutika.[12]
Pendekatan filologi dan sejarah dianggap sangat produktif dalam studi Islam. Lebih dari 100 tahun sarjana membekali diri dengan prinsip-prinsip bahasa orang Islam dan memperoleh pendidikan dalam bidang metode filologi untuk memahami bahan-bahan tekstual yang menjadi bagian dari keberagamaan Islam. Karya di bidang filologi sebenarnya merupakan kesinambungan dari pendekatan serupa dalam kajian perbandingan bahasa atau studi Bibel. Hal ini disebabkan karena status Bahasa Arab merupakan perkembangan lebih jauh dari rumpun bahasa Semit.
Menurut Adams, filologi memiliki peran vital dan harus tetap dipertahankan dalam studi Islam. Argumentasi Adams adalah karena Islam memiliki banyak bahan berupa dokumen-dokumen masa lampau dalam bidang sejarah, teologi, hukum, tasawuf dan lain sebagainya. Literatur tersebut belum banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, sehingga pendekatan filologi sekali lagi memainkan peran vital dalam hal ini.
Metode filologi dan sejarah akan tetap relevan untuk studi Islam, baik untuk masa lalu, sekarang maupun yang akan datang. Adams lebih lanjut menjelaskan, penekanan terhadap pendekatan filologi ini bukan berarti tidak menghargai pendekatan lain untuk mengkaji kehidupan umat Islam kontemporer. Pendekatan behavioral kontemporer terhadap Islam tetap memiliki signifikansi dalam membangun pengetahuan tentang Islam sebagai sebuah living religion. Yang hendak ditegaskan Adams adalah filologi merupakan kata kunci untuk melakukan penelitian tentang realitas praktek dan kelembagaan Islam di masa lalu. Metode dan pendekatan ilmu behavioral harus digunakan apabila cocok digunakan tetapi tidak harus menolak tradisi penelitian filologi.
b)     Pendekatan Ilmu Sosial (Social Scientific Approach)
Pendekatan ini muncul sebagai kritik atas pendekatan para ahli bahasa, Filologi. Menurut Founding Fathers pendekatan ilmu sosial, para filolog mempunyai anggapan yang salah dalam mengkaji masyarakat, yakni melalui literatur. Menurut mereka dalam mengakaji masyarakat seharusnya menggunakan metode sains sebagaimana yang digunakan pada ilmu sosial. Selain itu, para filolog hanya mengkaji kata dan makna yang tertulis dalam teks klasik dari pada masyarakatnya, meski filolog membayangkan dapat melihat masyarakat dalam teks.[13]
Para pencetus metode ini menyatakan bahwa metode ilmiah (scientific), yang bersifat Erklaren (penjelasan) dengan menggunakan logika sebab-akibat sebagaimana dalam menjelaskan alam, tidak bisa digunakan untuk menjelaskan manusia yang mempunyai perasaan, keinginan, serta impian. Alam memunculkan hukum sedangkan manusia melahirkan ‘nilai’.[14] Kemudian yang dimaksud dengan pendekatan ilmu sosial disini ialah pendekatan scientis-positivistik tersebut. Ciri-ciri pendekatan scientis diantaranya ialah:
1)        Menyatakan bahwa metode-metode ilmu alam bisa digunakan dalam ilmu sosial.
2)        Mengandaikan adanya metode serta pengetahuan yang bersifat Objektif, netral, dan bebas nilai.
3)        Hasil penelitian sosial bisa dijadikan hukum-hukum sebagaimana dalam ilmu alam.
4)        Hasil penelitian harus bersifat teknis yang bisa digunakan untuk keperluan apapun, sehingga tidak bersifat etis serta lepas dari dimensi politis manusia.
5)        Melepaskan objek kajian dari historisitasnya.
6)        Cenderung membagi dan memetakan objek kajian dengan menggunakan kategori-kategori.
7)        Bersifat menjelaskan, empiris, dan akhirnya mengontrol. Dan masih banyak lagi.
Kemudian dalam wilayah studi agama usaha yang ditempuh oleh pendekatan sosial ilmiah ialah memahami agama secara objektif dan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Tujuan dari pendekatan ini ialah menemukan aspek empirik keberagamaan berdasarkan keyakinan bahwa dengan membongkar sisi empirik dari agama itu akan membawa seseorang kepada agama yang lebih sesuai dengan realitasnya.[15]
Salah satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan.
Asumsi dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat “dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Adams menunjukkan kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas. Fakta tersebut membuktikan bahwa telah terjadi fragmentasi pendekatan dan terkotaknya konsepsi tentang manusia. Kritikan Adams terhadap pendekatan ilmu-ilmu sosial paralel dengan pendapat W.C. Smith yang menyatakan bahwa aspek-aspek eksternal agama dapat diuji secara terpisah-pisah dan inilah kenyataannya yang berlangsung sampai beberapa waktu yang lalu, khususnya pada tradisi Eropa. Padahal persoalannya tersebut dalam dirinya bukanlah agama.
Meskipun memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan pendekatan ilmu-ilmu sosial, Adams mengakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner dalam melakukan studi tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan sosial dengan menggunakan salah satu disiplin ilmu sosial seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan antropolog yang tertarik pada wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim. Mereka menulis sesuai dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap Islam yang dilihat mempengaruhi fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang dimunculkan misalnya adalah efek Islam terhadap politik di salah satu negara atau hubungan orientasi agama dengan pembangunan ekonomi atau perubahan sosial. Dari perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya sebagai fungsi dari realitas aktivitas lainnya.
Menurut Adams pengecualian harus diberikan untuk pendekatan antropologi. Dalam banyak hal, pendekatan antropologi dan sejarah agama sangat erat. Hal ini disebabkan karena kedua disiplin ini sama-sama tertarik untuk mengkaji seluruh kehidupan masyarakat, antropolog melebihi ilmuwan politik, sosiologi atau ekonomi karena antropolog mengkaji seluruh aspek kehidupan masyarakat beragama yang dijadikan subjek studi. Pendekatan antropologi tertarik untuk mengkaji fenomena agama dan seluruh aspek ekspresi keberagamaan. Di antara ilmuwan sosial yang melakukan kajian Islam dengan pendekatan antropologi adalah Clifford Geertz.
Pendekatan antropologi mampu menghasilkan studi yang menjelaskan tentang ekspresi keberagamaan Islam lokal menurut tempat dan gaya hidup yang berlainan.
Seorang ilmuwan sosial yang tetap mempertahankan model studi dengan memilih dan menkotakkan aktivitas manusia ke dalam bentuk bagian-bagian, sebagai sudut pandang secara sempit tetapi masih sangat penting adalah pendekatan yang dilakukan oleh C.A.O. van Nieuwenhuijze dalam sebuah tulisannya “The Next Phase of Islamic Studies: Sociology?”. Van Nieuwenhuijze menyatakan bahwa metode sosiologi dan ilmu sosial lainnya mungkin akan menambah pemahaman baru tentang tradisi keberagamaan Islam.[16]
c)      Pendekatan Fenomenologi ( phenomenological Approach)
Menurut Adams, terdapat dua hal penting yang mencirikan pendekatan fenomenologi dalam kajian agama (islam). Pertama, fenomenologi adalah metode untuk memahami agama seseorang yang termasuk di dalamnya usaha sebagian sarjana dalam mengkaji pilihan dan komitmen mereka secara ‘netral’ sebagai persiapan untuk melakukan rekonstruksi pengalaman orang lain. Kedua, konstruksi skema taksonomik untuk mengklasifikasikan fenomena dibenturkan dengan batas-batas budaya dan kelompok religius. Secara umum pendekatan ini hanya menangkap sisi pengalaman keagamaan dan kesamaan reaksi keberagamaan semua manusia secara sama tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktu  dan perbedaan budaya masyarakat.[17]
Arah pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara jelas tentang ritual dan upacara keagamaan, doktrin, dan reaksi sosial terhadap pelaku keagamaan.[18] Singkatnya, pendekatan fenomenologi ialah ingin menempatkan pengetahuan pada pengalaman manusia serta mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya. [19]
Pendekatan fenomenologi berusaha untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih fundamental (esensi) tentang fenomena keberagamaan manusia. Usaha pendekatan ini agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalnya agar tidak melampaui kewenangannya.
Di samping melalui pendekatan yang telah disebutkan, seseorang dapat mencurahkan waktu dan energi untuk studi Islam dengan pendekatan atau dalam bentuk Religionswissenschaft.[20] Mereka yang menggunakan pendekatan ini secara formal memperoleh pendidikan tradisi Eropa dalam studi agama yang lahir dalam seperempat ahir abad ke-19, dan mereka yang berjuang keras menggunakan pendekatan ilmiah terhadap agama sebagai sebuah fenomena sejarah yang universal dan sangat penting. Di Amerika Utara pendekatan studi seperti ini dikenal dengan sebutan sejarah agama atau perbandingan agama. Adams dalam tulisan ini mengabaikan bagaimana perubahan konsepsi Religionswissenschaft seperti pada awal kemunculannya kemudian menjadi fenomenologi sebagai salah satu ciri pendekatan dalam studi agama. Diakui Adams sangat sulit mendefinisikan fenomenologi agama, karena memang mereka sendiri yang menyebut fenomenologi agama.
Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut.
Aspek fenomenologi pertama ini sangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri. Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang akan dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku.
Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam. Dalam hal ini, Adams menguatkan apa yang dikatakan W.C. Smith yang menyarankan bahwa pernyataan tentang sebuah agama oleh peneliti dari luar (outsider) harus benar, jika pemeluk agama tersebut mengatakan “ya” terhadap deskripsi tersebut.[21]
Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh.
Pendekatan fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam beberapa tahun terakhir ini karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya, namun hampir tidak ada upaya untuk mengaplikasikan metode dan pendekatan ini untuk mengkaji Islam. Menurut Adams, penerapan pendekatan fenomenologi lebih baik untuk penelitian keberagamaan masyarakat yang diekspresikan terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh sebab itu fenomenologi lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif dan agama kuno. 


3.      Bidang Kajian Studi Islam
             Dalam mengkaji Islam ada beberapa wilayah studi, yaitu; Arab sebelum Islam, studi tentang Nabi, al-Qur’an, Hadis, Kalam, hukum Islam, falsafat, tasawwuf, aliran-aliran Islam khususnya shi’ah, ibadah, dan agama popular.
a)      Pre-Islamic ArabiaArab sebelum Islam (pre-Islamic Arabia) adalah suatu kondisi Arab sosial sebelum kedatangan Islam dan proses interaksi-interaksi awal Islam dengan kebudayaan jahiliyah. Studi Arab sebelum Islam adalah studi historis, sosiologis masyarakat dan kebudayaan Arab sebelum kedatangan Islam dan studi tentang hubungan Nabi dengan klan terbesar Quraish sebagai pembentuk peradaban berpengaruh waktu itu.
Studi tentang Arab sudah banyak dilakukan oleh para ilmuwan seperti Goldziher, Willhausen, Margoliouth, Nicholson dan beberapa nama penting lainnya. Objek material penelitian mereka berasal dari sumber-sumber literatur pre-Islamic Arabia seperti; sajak jahiliyah, sumber-sumber sira yang berasal dari hitungan sejarawan Arab, dari Kitab Aghani sampai sumber material al-Qur’an. Sumber-sumber tersebut memberikan gambaran tentang kondisi Arab sebelum Islam dan perubahan-perubahan setelah kehadiran Muhammad.
Banyak sekali studi tentang pre-Islamic Arabia yang dilakukan oleh para sarjana Barat dan muslim, diantaranya Toshihiko Izutzu, The Structure of Ethical Term of al-Qur’an (1957), AJ. Arberry, The Seven Odes (1957 dan beberapa nama dan karya lainnya. Salah satu kemajuan terbesar dalam studi kehidupan Arab ketika para ilmuwan Perancis memperkenalkan beberapa model studi, mereka adalah Bishr Fares, Joseph Chelhod dan Taufiq Fahd. Kontribusi Faris dalamL’honneur ches les arabes l’Islam (1932) adalah konsep “Muruwwah” sebagai fondasi sikap baik orang Arab. Hasil pengkritisan Fare’s menunjukkan  bahwa “Muruwwah” menjadi dasar reputasi orang Arab yang kemudian melahirkan sikap dermawan, pemberani, dan berkeyakinan teguh.
b)     MuhammadStudi tentang Muhammad banyak dilakukan pasca perang dunia II. Salah satu kontribusi terhadap studi tentang Muhammad adalah Ibn Hisyam, Sirah al-Nabawi (1955). Juga Regis Blachere, La Probleme de Mohamet (1952) yang merupakan kritik terhadap sumber-sumber yang digunakan Watt untuk mengungkat sejarah Muhammad. Juga Serjeant (1956) yang dengan tajam mengkritik model studi yang dilakukan oleh Watt karena tidak menggunakan pendekatan antropologi dan etnografi dalam menghubungan kesejarahan Muhammad dengan suku-suku Arab waktu itu. Dalam tesis Serjeant, ada hubungan antara Muhammad sebagai “holy men” dengan kehidupan sebelum menjadi Nabi yang perlu dikaji lebih mendalam untuk mengungkap kepribadian Muhammad. Sementara Tor Andrae, Die Person Muhammet (1918), menyatakan perlunya adanya studi kritis tentang Muhamad dengan berangkat dari persepsi “Muhammad bukan sebagai Nabi”. Karena banyak kesalahan yang dilakukan muslim  tentang Muhammad dengan mengabaikan aspek-aspek lain Muhammad sebagai seorang manusia biasa.
c)      al-Qur’an. Studi kritis tentang al-Qur’an yang dilakukan oleh beberapa sarjana khususnya Barat berkisar pada;bentuk teks al-Qur’an, kronologi pembentukan teks, sejarah teks, veriasi bacaan, hubungan al-Qur’an dengan beberapa literatur terdahulu dan beberapa isu penting lainnya.
Beberapa sarjana yang cukup mendetail dalam studi al-Qur’an adalah Toshisiko Izutsu dalam The structure of ethical term of the Koran dan God and Man in the Qur’an. Izutsu menggunakan metode dan analisis semantik yang cukup cerdas dan mengembangkan arti kata-kata kunci yang mendalam dalam al-Qur’an. Metode ini banyak diikuti oleh beberapa peneliti dalam mengkaji al-Qur’an. Variasi model analisis semantik juga dikembangkan oleh sarjana Universitas St. Joseph Beirut. Teknik ini menggunakan subyek indeks untuk menghubungkan dengan ide-ide dasar al-Qur’an.
d)     Hadis. Penelitian kritis terhadap Hadis oleh ilmuwan Barat tidak bisa dilepaskan dari nama-nama berikut ini; Ignaz Goldziher (1910), Joseph Schacht (1945), Nabia Abbot (1967) dan Fuat Zezqin (1967). Disamping juga Fazlur Rahman dalam Islamic Methodology ang History (1965).
e)      Kalam. Dalam studi Kalam ada empat  elemen penting yang perlu diperhatikan sebagai fokus kajian ini; pertama, model pembaharuan studi Kalam yang dilakukan oleh para sarjana Barat, khususnya Montgomery Watt. Dalam hal ini Adams memberikan catatan bahwa Watt sangat subyektif dan bias dalam mengkaji Kalam pada masa-masa awal. Kedua, upaya memperbaharui teologi konservatif yang generasi kedua seperti al-Juwaini, al-Ghazali, al-Baqillani, Abu Hudhayl al-Allaf, dll. Ketiga, studi tentang pemikiran awal teologi khususnya Asy’ari dan al-Maturidi. Keempat, fokus studi pada gerakan teologi Mu’tazilah.
f)       Sufisme. Menurut Adams fokus studi tasawwuf yang masih relevan hingga sekarang meliputi;pertama sejarah sufisme yang hingga kini terus menjadi perdebatan dan menjadi elemen penting dalam studi tentang sufisme.Kedua, studi tentang karya-karya penulis muslim khususnya dalam bentuk puisi dan prosa sebagai ungkapan simbolik kepatuhan dan kedekatan pada Allah. Ketiga, studi tentang mystical brotherhood (organisasi sufi/tarekat) yang merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran sufi.
g)      Shi’ah. Wilayah kajian shi’ah (terutama) difokuskan pada tiga hal;pertama, sejarah shi’ah dan hubungannya sunni. Kedua, sejarah munculnya shi’ah sab’iyyah (shi’ah ketujuh). Ketiga, sejarah dan aliran-aliran dalam shi’ahithna ‘ashariyah (shi’ah keduabelas).
Pembagian bidang kajian yang menjadi subject matter studi Islam seperti di atas dipengaruhi oleh definisi Adams tentang Islam dan Agama. Meskipun Adams pesimistis untuk dapat menemukan kesepakatan umum tentang definisi Islam, namun dia akhirnya mengatakan bahwa Islam bukan hanya terdiri dari satu hal (one thing), tetapi Islam mempunyai banyak hal (many things) yang selalu berubah dan berkembang sehubungan dengan kondisi sejarah. Apapun definisi ilmuwan tentang Islam, menurut Adams, Islam dapat dijadikan objek kajian sebagai bagian dari sejarah. 


4.      Konstribusi Charles J. Adams terhadap Studi Islam
Tulisan Adams dalam buku “Islamic Religious Tradition”, dapat dipahami bahwa Adams merupakan salah satu sarjana Barat yang mencurahkan waktu dan pikirannya terhadap pengembangan studi Agama dan studi Islam. Latar belakang pendidikan Magister dan Doktornya dalam bidang History of Religion semakin meneguhkan dirinya sebagai salah seorang ahli dan expert dalam studi Islam.
Prof M. Amin Abdullah menyebut Adams sebagai salah satu sarjana Barat yang berpendapat bahwa metodologi ilmu-ilmu sosial dapat diterapkan pada ilmu-ilmu keislaman, dan merasakan pentingnya menerapkan kaidah-kaidah ilmiah, metode dan cara pandang yang biasa digunakan dalam studi agama (religionwissenchaft) pada wilayah studi keislaman.[22] Secara konseptual, pendekatan yang ditawarkan oleh Adams dalam studi Islam, sebenarnya merupakan penguatan terhadap pendekatan yang ditawarkan oleh Joseph M. Kitagawa yang menyatakan bahwa disiplin religionwisennschaft terletak di antara disiplin normatif di satu sisi dan disiplin deskriptif di sisi lain. Mengkaji agama dapat dilakukan dengan menggunakan disiplin-disiplin normatif maupun deskriptif. Aspek deskriptif studi agama harus bergantung kepada disiplin-disiplin yang berhubungan dengan perkembangan historis masing-masing agama, psikologi, sosiologi, antropologi, filsafat, filologi, dan hermeneutik.[23]
Konstribusi konkrit Adams adalah ketika memberikan eksplanasi dan pemetaan yang jelas dari pendekatan normatif dan deskriptif dalam studi Islam dengan diikuti uraian yang detail untuk masing-masing pendekatan. Kemudian masing-masing pendekatan tersebut coba digunakan dalam mengkaji bidang telaah studi Islam yang terdiri dari sebelas bidang kajian. Bagi pengkaji Islam sekarang, pemikiran Adams yang tertuang dalam artikel tersebut, sangat membantu karena Adams begitu banyak melaporkan hasil penelusuran literatur (prior research and concept on the topic) mengenai pendekatan tersebut.
Hasil bacaan yang sangat banyak tersebut tidak sekadar dilaporkan secara detail, tetapi Adams memberikan kritikan sekaligus menyuguhkan kegelisahan akademik untuk masing-masing wilayah telaah dalam studi Islam yang dapat ditindaklanjuti dengan penelitian oleh para pengkaji Islam sekarang. Tidak mengherankan kalau banyak sarjana Barat-pun yang menjadikan pemikiran Adams sebagai referensi dalam pembahasan studi agama dan Islam.
Pendapat Adams tentang studi al-Quran yang bisa mempertanyakan hal-hal berikut materi-materi sebagai pembentuk teks al-Quran, kronologi materi-materi yang tersusun dalam teks, sejarah teks, varian bacaan, hubungan al-Quran dengan literatur sebelumnya, dan isu-isu hangat lainnya yang sejenis telah diteliti sepenuhnya. Menurut Andrew Rippin pernyataan Adams tersebut mengusik kegelisahan akademik John Wansbrough, sehingga dia tertarik melakukan analisis sastra terhadap al-Quran, tafsir dan Sirah.[24]
Dalam kaitannya dengan wilayah telaah dalam studi Islam, Adams memberikan rekomendasi 6 wilayah telaah yang harus memperoleh perhatian para pengkaji Islam. Ke-enam wilayah telaah tersebut adalah Pertama studi al-Quran terutama berkaitan dengan ajaran, gagasan dan pandangan dunia tentang al-Quran. Kedua, sejarah teologi Islam masa-masa permulaan dengan perhatian khusus pada Mu’tazilah. Ketiga, studi sufi dengan penekanan pada karya-karya individual, teks dan tarikat. Keempat studi Syiah dengan fokus kajian keunikan dan kekayaan konstribusinya terhadap ilmu keagamaan. Kelima studi agama rakyat di kalangan muslim, dan ke-enam adalah kajian tentang sejarah agama yang muncul di Eropa dan Amerika dengan menggunakan pendekatan ilmiah.
Pendekatan yang ditawarkan oleh Adams jika dilihat dalam perspktif kekinian menunjukkan beberapa item yang belum disentuh dari deskripsinya mengenai studi agama padahal item tersebut sangat dibutuhkan sekarang. Adams tidak menyebutkan bagaimana reaksi orang Islam kepada sarjana Eropa-Amerika, atau partisipasi mereka di dalamnya. Pembahasan mengenai Studi Islam belum mempertimbangkan pengaruh mahasiswa Islam di dalam kelas. Dia juga tidak mendiskusikan steretipe yang massif tentang hubungan Islam dengan terorisme, kekerasan, pelecehan terhadap perempuan dan sebaainya. Dia juga tidak menyebutkan sejarah kekinian, terutama kolonialisme Eropa, moderniasasi, dan fundamentalisme. Lebih jauh lagi dia tidak merujuk pada peran media dan jurnalistik dalam ikut mempengaruhi imae tentang Islam sekarang. Dan tentu saja, fenomena terkini seperti pos-strukturalisme, kritisim konstruktivisme, feminisme, ender, dan diskursus pos-kolonial, termasuk juga kritis orientalisme sendiri.
Pesan dan provokasi akademik Adams tersebut mendapat penguatan dan sekaligus menjadi inspirasi bagi lahirnya pendekatan baru dalam studi Islam. Misalnya, Prof M. Amin Abdullah menawarkan paradigma keilmuan “integrasi-interkoneksi” untuk studi keislaman kontemporer di Perguruan Tinggi. Prof M. Amin Abdullah mengatakan, pendekatan interkoneksitas berbeda sedikit dari paradigma “integrasi” keilmuan yang seolah-olah berharap tidak akan ada lagi ketegangan dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normativitas-sakralitas keberagamaan secara menyeluruh ke dalam wilayah “historisitas-profanitas”, atau sebaliknya. Paradigma “interkoneksitas” mengasumsikan bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama (termasuk agama Islam dan agama-agama yang lain), keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Aholib Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, (Yogyakarta: Kanisius; Pustaka Filsafat, 2001),

Andrew Rippin, “Literary Analysis of Quran, tafsir and Sira: the Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies.

Charles J. Adam, "Islamic Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, (New York, Wiely & Sons, tt.),

Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies.

Francis Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan, (Yogyakarta: Buku Baik, 2004),

Joseph M. Kitagawa,”Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, (ed) Metodologi Studi Agama,

M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)

Muhammad Latif Fauzi “ Telaah atas Karya Charles J. Adams dalam Studi Islam”, dalam Center for Islamic Studies, ( http://cfis.uii.ac.id).

Pius A Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer ,(Surabaya: Penerbit Arkola, 1994)

Nyoman Kutha Ratna, Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. V, 2009),

Zakiyuddin Baidhawy, “Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama: Sebuah Pengantar”, dalam Richard C. Martin,(ed.), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Islam, terj. Zakiyuddin, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press, 2001)

Luluk Fikri Zuhriyah, METODE DAN PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams, ISLAMICA, Vol. 2, No. 1, September 2007



[1] Charles J. Adam, "Islamic Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, (New York, Wiely & Sons, tt.), hal. 29
[2] Luluk Fikri Zuhriyah, METODE DAN PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams, ISLAMICA, Vol. 2, No. 1, September 2007, hal 27
[3] Charles J. Adam, "Islamic Religiuos Tradition,”  hal. 35
[4] Charles J. Adam, "Islamic Religiuos Tradition,” hal. 35
[5] Charles J. Adam, "Islamic Religiuos Tradition,”  hal. 37
[6] Charles J. Adam, "Islamic Religiuos Tradition,”  hal. 38
[7] Charles J. Adam, "Islamic Religiuos Tradition,”  hal. 38
[8]Pius A Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer ,(Surabaya: Penerbit Arkola, 1994), hal. 178.
[9]Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, hal. 41.
[10]Ibid, hal. 41
[11]Nyoman Kutha Ratna, Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. V, 2009), hal. 65-66.
[12]Muhammad Latif Fauzi “ Telaah atas Karya Charles J. Adams dalam Studi Islam”, dalam Center for Islamic Studies, ( http://cfis.uii.ac.id).
[13]Zakiyuddin Baidhawy, “Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama: Sebuah Pengantar”, dalam Richard C. Martin,(ed.), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Islam, terj. Zakiyuddin, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press, 2001), hal. xiii-ix.
[14]Francis Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan, (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), hal. 13-15.
[15]Muhammad Latif Fauzi “ Telaah atas Karya Charles J. Adams dalam Studi Islam”, dalam Center for Islamic Studies, ( http://cfis.uii.ac.id).
[16]Charles J. Adam, "Islamic Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, hal. 49
[17] Ibid, hal. 49-50
[18] Muhammad Latif, “Telaah atas karya Charles J. Adams”.
[19] Aholib Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, (Yogyakarta: Kanisius; Pustaka Filsafat, 2001), hal. 95.
[20]Istilah Religionswissenschaft pertama kali digunakan pada tahun 1867 oleh Max Muller, dia menggunakan istilah ini dalam rangka mengidentifikasikan bahwa disiplin ini lepas dari filsafat agama dan teologi. Joseph M. Kitagawa, “Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hal. 126 – 127
[21] Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, 190
[22]M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 33
[23]Joseph M. Kitagawa,”Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, (ed) Metodologi Studi Agama, hal. 128 -129.
[24]Andrew Rippin, “Literary Analysis of Quran, tafsir and Sira: the Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard Martin , Approaches to Islam in Religious Studies, hal. 158.
Teori Dasar Pendekatan dalam Pengkajian Islam (Charles J. Adams) Teori Dasar Pendekatan dalam Pengkajian Islam  (Charles J. Adams) Reviewed by adeardo on 01.46 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Gallery

ade ardo fittra. Gambar tema oleh Deejpilot. Diberdayakan oleh Blogger.