Technology

Otentisitas dan Aktualitas dalam Pemikiran al-Mestiri


Otentisitas dan Aktualitas dalam Pemikiran al-Mestiri
Abstraksi

Upaya umat Islam untuk keluar dari keterpurukan di kancah kebudayaan dan peradaban global kontemporer masih bersifat sentimental, emosional, fragmentatif, dan reaksioner. Sehingga menyisakan satu pertanyaan mendasar; apa sejatinya yang masih kurang dengan upaya-upaya tersebut? Hal inilah yang menjadi fokus utama dari penelitian Mohamed al-Mestiri. Dengan mengacu pada upaya pembasisan epistemologis dan aksiologis yang terwakilkan dalam sebuah diktum ‘at-ta’shîl lâ yumkin illa mu`âshiran,’ al-Mestiri menguraikan pelbagai persoalan mendasar yang sering kali luput dari pelbagai usaha kebangkitan.Bagi al-Mestiri, fundamen dasar proses pembaharuan pemikiran Islam kontemporer harus berpijak pada prinsip multi-komposisional dan multi-dimensional (murakkabah wa muta`addidah at-takhashus), serta observasional/riset (al-murâqabah al-mîdâniyyah), bukan dekomposisional, mono-dimensional. Prinsip ini sekaligus menegaskan bahwa ijtihad harus dilakukan secara kolektif, bukan individual.

I.                   Prolog
Dalam realitas peradaban Islam kontemporer, keterpurukan Islam pada aspek pemikiran, sosial, politik, hingga ekonomi, telah memantik banyak pemikir Islam untuk meneliti sebab-sebab dan pelbagai solusi pemecahannya. Pelbagai proyek kebangkitan diwacanakan, baik dengan memutus total tradisi lalu beralih pada paradigma modernisme Barat, ataukah kembali kepada nilai-nilai tradisi Islam perdana sebagai paradigma alternatif dan orisinil. Dialektika antara dua perspektif inilah yang telah memunculkan pelbagai spektrum pemikiran di ruang pewacanaan intelektual Islam kontemporer.
Wacana pemikiran Arabi-Islam dalam upaya keluar dari keterpurukannya sendiri terejawantahkan ke dalam tiga tipologi dasar. Pertama, sikap modernis (al-`ashrâniyyah) yang menjadikan capaian Barat modern sebagai model paradigma peradaban masa kini dan masa depan peradaban Arab-Islam. Kedua, sikap tradisionalis (salafiyyah) yang menganggap bahwa capaian peradaban Arab-Islam perdana, sebelum terjadi—sebagaimana diasumsikan mereka—pelbagai penyimpangan dan kemunduran, dianggap sebagai model paling relevan dalam menghadapi dominasi modernitas Barat. Ketiga, sikap ekletis (intiqâiyyah) yang berusaha mencari unsur-unsur terbaik dari paradigma Barat modern dan capaian peradaban Arab-Islam klasik, kemudian memadukan keduanya dalam sebuah paradigma baru.[1]
Terlepas dari sikap semacam apa yang tepat dalam setiap proyek kebangkitan, namun sejatinya persoalan umat Islam lebih mendasar dari sekedar polemik antara pengambilan sikap modernis, tradisionalis, maupun ekletis.Sehingga upaya umat Islam untuk keluar dari keterpurukannya di kancah kebudayaan dan peradaban global ini menyisakan satu pertanyaan besar, apa sejatinya yang masih kurang dengan upaya-upaya tersebut?Pertanyaan semacam inilah yang menjadi fokus utama dari penelitian Mohamed al-Mestiri dalam buku yang berjudul Jadal at-Ta’shîl wa al-Mu`âshirah fî al-Fikr al-Islâmi. Dengan mengacu pada upaya pembasisan epistemologis dan aksiologis di kancah kebudayaan dan peradaban kontemporer, al-Mestiri menguraikan pelbagai persoalan mendasar yang sering kali luput dari pelbagai usaha kebangkitan.
Menurut al-Mestiri, berlarut-larutnya persoalan ini lebih karenaupaya kebangkitan Islam belum ditopang oleh suatu cara pandang universal(ar-ru’yah al-kuliyyah/world view) atas persoalan-persoalan umat Islam kontemporer.[2]Tidak adanya ar-ru’yah al-kuliyyah ini disebabkan adanya kesalahan mendasar dalam memahami warisan pemikiran dan kebudayaannya (at-turâts), serta kesalahan memahami realitas kontemporer yang tengah dialami. Dampaknya, solusi yang diketengahkan senantiasa bersifatsentimental, emosional, fragmentatif, reaksioner, bahkan cenderung retroaktif.

II.                BiografiMuhammad al-Mustiri[3]
Al-Mustiri yang bernama lengkap Mahmod al-Mestiri merupakan pemikir Tunisia yang mengusung spirit pembaharuan pemikiran Islam. Ia merupakan alumus Universitas Zaitunia-Tunisia, kemudian melanjutkan studinya di Universitas Sorbone-Prancis dengan mengambil kajian Filsafat Islam. Studi doktoralnya diselesaikan pada tahun 1994 dengan menulis disertasi berjudul Nadzriyat al-Akhlâq baina al-Mutakallimîn wa al-Falâsifah: Dirâsah Muqâranah. Saat ini, al-Mestiri merupakan pengajar aktif di fakultas Ushuluddin, Universitas Zaitunia-Tunisia. Lain pada itu, ia juga aktif di beberapa kegiatan, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Beberapa karya-karnyanya antara lain:
§  Risâlah fî Ushûl ad-Dîn (2004)
§  Al-Mutsaqqaf wa al-Iltizâm (2009)
§  At-Ta`addudiyah wa al-I`tirâf bi Huqûq al-Aqalliyât(2008)
§  Islamophobia fî al-`Âlam al-Mu`âshir (2008)
§  Ahammiyat I`tibâr as-Siyâq fî al-Majâlât at-Tasyrî`iyah wa Shillatuhu bi Salâmat al-`Amal bi al-Ahkâm (Antologi: 2008)
§  Kitâb al-`Ûmmah fî al-Qurn (Antologi: 2007)
§  Al-Quwiah wa al-Kauniah fî al-Fikr al-Islâmi al-Mu`âshir (Antologi: 2007)
§  Al-Fikr al-Islâmi wa al-Hadâtsi: Nadzrât Mutaqâti`ah (Antologi: 2005)
§  Al-Muslimûn baina asy-Syarî`ah wa al-Qânûn (Antologi: 2005)
§  Harâkiyah al-Hiwâr ad-Dîni fî al-Qurn 21 (Antologi: 2004)
§  Al-Khalq wa al-Ibdâ` (Antologi: 2003)
§  Al-Bu`d al-Hadlâri li Hijrah al-Kafâ’ât (Antologi: 2002)

III.             Dinamika Pemikiran Islam Kontemporer
Mengapa umat Islam tertinggal, sedangkan bangsa lainnya(Barat) maju/beradab? Kegamangan ini seolah menjadi pertanyaan abadi dalam menggambarkan realitas umat Islam kontemporer. Pemikir-pemikir Islam tengah dihadapkan pada tantangan untuk mengatasi situasi keterpurukan yang sudah sedemikian mengerak lama. Salah satu pemikir Islam yang menaruh perhatian pada persoalan ini adalah al-Mestiri.
Nahdlat al-fikr li nahdlat al-hadlârah (kebangkitan pemikiran merupakan pra-syarat utama bagi kebangkitan peradaban).[4] Demikianlah ia menegaskan pentingnya rasionalitas dalam menopang kebangkitan suatu peradaban. Namun sebelum masuk pada pemikiran al-Mustiri terkait upaya ontentifikasi (ta’tshîl) pemikiran kontemporer, harus dipahami terlebih dahulu bahwa kesadaran Islam dikonstruksi oleh cara pandang yang bersifat sentripetal (centripete), yaitu peradaban yang bergerak menuju sumbu/pusat.Tak ayal, masyarakat muslim merepresentasikan peradaban yang berkesadaran al-Nash.[5]Hal ini sangat berbeda dengan kesadaran Eropa (Barat) yang lebih bersifat sentrifugal(centrifuge), yaitu peradaban yang bergerak menjauhi sumbu/pusat.[6]
Dalam konteks kesadaran Islam, peradaban yang bersifat sentripetal ini dipicu oleh—meminjam analisa Fazlur Rahman—posisi al-Qur’an sebagai poros paradigmatik bagi setiap pengetahuan yang muncul dan diserap dari ajaran Islam. Keterlibatan al-Qur’an dalam konstruksi wacana doktrinal Islam, baik dalam aspek keyakinan agama maupun pranata dan etika sosial, menjadikan peradaban Islam tidak pernah benar-benar mengkonstruksi teori filosofis murni (pure theory).[7] Sedangkan dalam konteks kesadaran Eropa, proses formasinya mendahului struktur. Oleh karena itu, setiap upaya identifikasi kesadaran Eropa dilakukan untuk membuktikan kemandirian struktur kesadaran dari sejarah partikularnya.[8]
Sedemikian pentingnya sumber otoritatif keagamaan dalam peradaban Islam inilah yang sedari awal disadari al-Mestiri. Sehingga upayanyamenemukan ar-ru’yah al-kuliyyah tidak serta-merta dilepaskan dari basis a priori tersebut, melainkan dijadikan titik tolak sekaligus akhir dari proyek kebangkitan, baik pada tataran epistemologis maupun aksiologis. Dijelaskannya:

Yang dimaksud dengan ar-ru’tah al-kulliyah adalah cara pandang yang didasarkan suatu basis pengetahuan (al-ushûl al-ma`rifiyyah) dan basis moral/nilai (al-ushûl al-akhlâqiyyah) yang membedakannya dari cara pandang yang tengah mendominasi dunia kontemporer kita. Hal ini juga menjadi prototypeacuan filosofis dan etis bagi masyarakat kontemporer yang memperbaharui pemaknaan martabat manusia serta pemahaman nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab yang menopang realitas sosialnya. Ketika pemikiran Islam menyingkirkan basis epistemologis yang bersifat universal, maka sejatinya pemikiran Islam tengah dipalingkan dari aspek humanis yang membedakannyadari yang lain, sekaligus menjadi syarat yang memungkinkannya menjadi masyarakat beradab, dan merengkuh suatu peradaban.[9]

Upaya al-Mestiri dalam menemukan ar-ru’yah al-kuliyyah bagi kebangkitan Islamdidasarkanpada dua kata kunci yang beroprasi secara dialektis, yaitu at-ta`shîl (otentifikasi) dan al-mu`âshirah (kontemporer/aktualitas). Pemaknaan otentifikasi dalam pemikiran al-Mestiri sendiri merupakan kerja peradaban yang dinamis dalam upaya memahami situasi aktual beserta persoalan-persoalan yang melingkupinya.Hal ini tercermin dalam sebuah diktum ikoniknya, bahwa at-ta’shîl lâ yumkin illa mu`âshiran(otentifikasi hanya mungkin dilakukan—bila dipahami—dalam aktualitasnya).[10]
Ungkapan tersebut menegaskan bahwa ontentifikasi al-Mestiri bukanlah cara pandang retrospektif (mâdlawiyyah);yaitu dengan menghidupkan kembali capaian kebudayaan dan peradaban Islamdi masa lalu di kancah peradaban kontemporer, bahkan melakukan upaya-upaya sakralisasi (taqdîsiyyah)ataupun rasionalisasi (`aqlaniyah al-mâdli)atasnya. Wacana otentifikasi al-Mestiri lebih merepresentasikan upaya reformatif(al-ishlâhi) wacana keagamaan;dengan menjadikan situasi aktual (aktualitas/kontemporalitas) umat Islamsebagai acuan dasar untuk menemukan suatu basis universalyang selaras dengan spirit masanya.
Sebagai seorang pemikir reformis,al-Mestiri melihat adanya kesalahan mendasar yang terjadi dalam melihat persoalan umat Islam. Salah satunya direpresentasikan oleh—misalnya—kalangan fundamentalis yang mengusung jargon ‘jâhiliah al-qurn al-`isyrîn’(kedunguan abad ke-20). Mereka gagal membedakan antara Islam sebagai sebuah basis doktrinal, dengan khazanah wacana keislaman (at-turâts al-Islâmi)sebagai proses kreatif atau ijtihad umat Islam di penanda masa kesejarahan tertentu. Terjadi kekaburan mendasar dan ketumpang-tindihan antara agama dan pemahaman keagamaan. Hal ini berdampak pada cara pandang yang cenderung fragmentatif (juziyyah-tajzîiyyah) karena tidak mampu menemukan suatu cara pandang yang menyeluruh atas pelbagai dimensi persoalan umat Islam kontemporer.[11]Persoalan-persoalan semacam inilah yang berusaha diuraikan al-Mestiri melalui buku Jadal at-Ta’shîl wa al-Mu`âshirah.

IV.             Otentifikasi Nilai Islam di Kancah Global
Sebagai upaya penanaman paradigma komunal, globalisasi justru memicu euforia kemunculan narasi-narasi kecil peradaban maupun keagamaan yang telah merubah konfigurasi sosial sedemikian radikal.Realitas global yang diandaikan tengah memaksa terbentuknya homogensi peradaban manusia, justru menjadi situasi yang ditandai oleh semakin terafirmasi dan tersosialisasinya pluralitas ekspresi kehidupan dan orientasi nilai. Konsekuensinya, pemahaman seseorang atas dunia tidak lagi memadai jika diandaikan sebagai narasi besar, melainkan lebih sebatas narasi kecil yang turut terlibat di kancah kebudayaan global.
Kondisi ini meniscayakan munculnya persoalan kemanusiaan yang semakin kompleks, karena dipicu oleh keragaman variabel-variabel pengalaman, motif, serta kepentingan sosial yang semakin beragam. Perubahan konfigurasi masyarakat global dan pranata-pranata sosial yang menopangnyaturut pula mempengaruhi realitas dan kesadaran umat Islam kontemporer. Perubahan inilah yang disadari sedari awal proyek kebangkitan Islam al-Mestiri, baik dalam kerangka identifikasi persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam, maupun visi-visi reformisnya.
Salah satu persoalan yang mendapat perhatian al-Mustiri adalah polemik seputar spesialisasi keilmuan yang tengah menjadi perbincangan intens di ruang akademik. Hal ini dikukuhkan oleh fakta mendasar bahwa,semakin kompleknya fenomena sosial di tengah perubahan besar konfigurasi politik dan ekonomi, spesialisasi keilmuan hanya akanmemunculkan cara pandang eksklusif dan fragmentatif dalam memahami suatu persoalan yang terjadi, seperti halnya persoalan dalam realitas sosial masyarakat Barat modern.Dicontohkan al-Mestiri, modernisme Barat yang diiring sekularime dan kapitalisme, telah menjauhkan nilai-nilai keadilan sosial, moralitas,serta basis keagamaan dari ruang publik.[12]
Dampak sekularisme sendiri sangatlah signifikan terhadap konfigurasi sosial dan paradigmamasyarakat Barat modern, khususnya sejak masa Pencerahan (Enlightenment), atau saat ini dikenal sebagai abad Auflärung. Berawal dari menggeliatnya upanya-upaya sekularisasi, yaitu pemisahan antara institusi negara dari gereja, Abad Pencerahan menandai semakin terkikisnya kekuasaan gereja dalam fungsinya sebagai otoritas pengetahuan dan kebudayaan masyarakat.[13] Abad Pencerahan merupakan patahan sejarah peradaban Barat yang merepresentasikan usaha-usaha liberasi manusia dari kungkungan gereja dan menegakan kedaulatannya atas alam dan masyarakat. Padahal sebelumnya, pengetahuan dan kebebasan manusia sama sekali tidak terafirmasi secara penuh, tersubordinasikan di bawah institusi gereja.
Trauma masyarakat Barat dengan institusi gereja telah memicu kemunculan gerakan humanisme yang ditandai dengan usaha melepaskan diri dari paham tradisional bahwa manusia hanya bisa dipahami dalam konteks tatanan ilahi dan iman. Gerakan ini mengarah pada proyek pembangunan kehidupan manusia dan masyarakat menurut tatanan dan aturan akal budi (reason).[14] Respon atas hegemoni gereja ini kemudian menjadi genealogi sekularisme Barat yang berusaha mengafirmasi kebebasan kreatif manusia sebagai individu yang merdeka dan otonom. Lalu pada ranah yang lebih luas, melakukan privatisasi agama dengan cara menyingkirkannya dari ruang publik.[15]
Namun demikian, modernisme di kancah peradaban Barat yang telah melahirkan sekulersime dan kapitalisme, justrumeninggalkan persoalan-persoalan baru, khususnya terkait hilangnya basis nilai, dehumanisasi, serta raibnya keadilan sosial.Persoalan ini telah memunculkan fenomena baru terkait kembalinya wacana keagamaaan dalam upaya memperbaiki konfigurasi sosial yang telah tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaan dan moralitasnya. Fenomena aktual yang terjadi di dalam realitas masyarakat Barat ini, menurut al-Muestiri,merupakan situasi postmodern[16]yang merepresentasikan upaya penggalian kembali nilai-nilai moral yang menggeliat dalam pemikiran Barat, serta relasinya dengan martabat manusia dan keadilan sosial.[17]
Bagi al-Mestiri, saat pemikiran Barat tengah melakukan kritik diri terhadap non-integrasi keilmuan yang telah melahirkan kecenderungan positivistik dalam memahami realitas sosial-kemanusiaan, serta ditengarai menjadi akar persoalan raibnya nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, integralisme (ar-ru’yah at-takâmuliyah) justru telah menjadi spirit dasar peradaban Islam sejak lama.Hal ini tercermin dalam diri, misalnya, Ibn Rusyd yang selain sebagai seorang faqîh juga seorang filsuf, atau Ibn Taymiyah yang selain seorang pakar hukum juga ahli hadits.[18]Spirit integralisasi semacam inilah yang tengah diangkat kembali al-Mestiri melalui wacana pembaharuan basis pengetahuan Islam.
Dalam pemetaan al-Mestiri, terdapat empat persoalan mendasar yang harus disadari dalam upaya pembaharuan tersebut, yaitu (a) persoalan basis nilai, (b) visi peradaban,(c) strategi pengetahuan, serta (d) pembaharuan fundamen dasar pemikiran Islam. Tanpa menyadarinya, wacana pembaharuan terancam oleh pelbagai rintangan internal yang cenderung menawarkan solusi-solusi yang utopis, nostalgik, dan retrospektif. Hal ini tercermin dalam wacana-wacana yang berkembang dalam pemikiran Islam, seperti formalisasi syari`ah klasik, hegemoni ijtihad personal, khayalan khilafah, nalar sektarian, dan pelbagai isu-isu lain yang sejatinya tidak substansial dan tidak produktif, bahkan malah destruktif.

a.                  Persoalan Basis Nilai
Tauhid merupakan basis a priori atas nilai universal dan poros paradigmatik bagi visi peradaban Islam.Para teolog maupun filsuf Islam klasik sangat menaruh perhatian besar terhadap tauhid dan turut mengkarakterisasi peradaban Islam. Pemahaman tentang ke-Esa-an Tuhan senantiasa dijadikan sumber inspirasi masyarakat muslimdalam memproyeksikan kreatifitas manusia,tanggung jawab sosial, serta nilai humanitas di dalamnya. Sehingga nilai-nilai transendental yang terkandung dalam tauhid bukan semata bertautan dengan proses pembersihan spiritualitas umat Islam belaka, melainkan acuan filosofis serta basis nilai umat Islam dalam memahami fitrah manusia beserta realitas empiris yang melingkupinya.[19] Dalam pemaknaan lain, menghadirkan nilai tauhid yang berdaya sosial dan berperspektif kemanusiaan.
Hanya saja, terlalu kukuhnya nalar prosedural (al-`aql al-ijrâ’i) dan maupun nalar legal-formal (al-`aql al-iftâ’i)dalam mengurai persoalan-persoalan kemanusiaan aktual yang tengah dihadapi, justru telah mengalienasi nilai-nilai universal dan spirit dinamika peradaban yang secara esensial terkandung dalam tauhid Islam. Padahal aspek tauhid, menurut al-Mestiri, merupakan basis nilai yang menopang darya kreatifitas dan kemampuan umat Islam untuk menjadi masyarakat yang berperadaban secara dinamis (at-tahadldlur nahwa al-hadlârah) dalam pelbagai aspeknya.
Persoalan ini menjadi semakin rumit oleh polemik internal pemikiran Islam antar disiplin keilmuan yang berlarut-larut di ruang pewacanaannya. Perjumpaan antara fuqahâ, filsuf, dan teolog dipahami dalam relasi yang bersifat konfliktual dan silih menegasi satu-sama lain. Sehingga upaya refomasi keagamaan cenderung lebih banyak berkutat pada persoalan ideologi dan politik-kekuasaan, bukan metodologis; dan oleh karena itu, polemik yang terjadi lebih bersifat doktrinal, bukan epistemologis. Hal ini tercermin dari, missalnya,gerakan pembaharuan yang diusung Muhammad ibn `Abd al-Wahab sejak abad ke-19. Dampak praksisnya, wacana reformasi keagamaan lebih banyak berkaitan dengan upaya formalisasi hukum klasik dalam realitas sosial kontemporeryang sejatinya telah menalami perubahan konfigurasi secara radikal, daripada upaya pendasaran hukum pada basis epistemologi maupun acuan-acuan nilai etis yang berkembang sesuai dengan perkembanan pengetahuan dan kesadaran masanya.
Menurut al-Mestiri, cara umat Islam memahami situasi aktualnya cenderung retrospektif ataupun nostalgik, karena selama ini basis epistemologi Islam cenderung didasarkan pada mitologi dan folklor (legenda rakyat). Hal ini berdampak pada cara berfikir umat Islam yang cenderung statis dan tidak memiliki daya kreatif dan visi perkembangan peradaban. Bahkan upaya reformasi nalar keagamaan telah tersempitkan sebatas proses Islamisasi; dengan hanya menyematkan istilah Islam dalam setiap capaian pengetahuan manusia. Persoalan ini tentu meniscayakan perlunya suatu pembaharuan mendasarpada tataran epistemologi pengetahuan Islam di kancah peradaban dan kebudayaan kontemporer.[20]

b.                 Persoalan Visi Peradaban Islam
Peradaban tidak bisa hanya diartikan sebagai kata benda(al-hadlârah), melainkan juga sebagai sebuah kata kerja(at-tahadldlur); sebagai kerja peradabanyang bergerak secara dialektis dan dinamis, baik dalam kerangka proses akulturasi, enkulturasi, penolakan, maupun pengubahan.Dengan memahami peradaban sebagai kata kerja, maka peradaban bukan hanya dihubungkan dengan capaian-capaian yang bersifat material belaka, melainkan juga meliputi nilai-nilai yang diperas dari pengalaman manusia serta proses pengembangan/pembudayaan di dalamnya.Pada puncaknya, proses ini membentuk suatu visi peradaban yang kontekstual dan futuristik. Itulah sebabnya mengapa peradaban merupakan cerita tentang perubahan-perubahan; riwayat manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kehidupan yang sudah ada.
Mengacu pada penelitian al-Jabiri, sejarah peradaban menegaskan bahwa hanya peradaban Arab-Islam, Yunani klasik, dan Eropa modern yang memiliki kapasitas berfikir teoritis dan rasional dalam mengembangkan pengetahuan objektif, ilmiah, dan filosofis. Mekanisme nalar yang berkembang pada ketiga peradaban tersebut tidak hanya memiliki kemampuan untuk memproduksi ilmu menggunakan kemampuan akalnya (al-tafkîr bi al-`aql), tapi juga mampu menghasilkan teori-teori epistemologi pengetahuan, atau diistilahkan dengan berfikir tentang akal (al-tafkîr fî al-`aql).[21]
Dalam prosesnya, baik peradaban Islam maupun Eropa modern banyak bersinggungan dengan capaian-capaian peradaban Yunani. Menurut Hassan Hanafi, selama ini peradaban Yunani dipelajari dalam dua cara, yaitu: (1) al-Tasyakkul al-jauhari (formasi substansial). (2) al-Tasyakkul al-dzâhiri (formasi suferfisial). Model pertama, dipraktekan Eropa dalam membangun peradabannya, dengan mengambil forma dan substansi sekaligus. Mengingat cara Eropa mereplikasi peradaban Yunani mengambil dua aspek yang merepresentasikan kebudayaannya, peradaban Eropa mengorbankan originalitasnya tergilas hancur. Hal ini berbeda dengan Islam yang hanya meminjam forma kebudayaan Yunani dalam upaya mengembangkan peradaban Islam, tanpa mengorbankan originalitas substansialnya.[22]Hal inilah yang menjadi visi peradaban Islam sejak awal.
Persoalannya, visi peradaban yang selama ini berkembang di ruang pewacanaan Islam kontemporer, khususnya melalui upaya reformasi agama, cenderung mengarah pada gerakan-gerakan yang bersifat politik-kekuasaan belaka. Upaya reformasi keagamaan sama-sekali tidak memberi perhatian serius pada aspek pengembangan pendidikan dan pemikiran umat Islam, sebagaimana tercermin dalam kerja peradaban Islam di masa keemasannya. Lain pada itu, wacana reformasi agama juga cenderung mengabaikan perubahan realitas sosial dan konfigurasi masyarakat kontemporer yang sudah sedemikian radikal.
Terlalu mengakarnya nalar politik praktis dalam wacana kebangkitan ini sering kali menjadikan visi peradaban terjebak dalam dalam cita-cita utopis maupun visi-visi nostalgik era keemasan peradaban Islam klasik. Sehingga visi peradaban yang tengah dikembangkan tidak memiliki strategi perubahan yang memadai, serta tidak ditopang oleh basis epistemologi pengetahuan yang kukuh. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan umat Islam memahami esensi persoalan aktual dan mengkreasikan pelbagai solusi kreatif untuk menyelesaikannya.
Fakta ini menegaskan satu kenyataan mendasar bahwa wacana pemikiran Islam kontemporer masih belum mencatatkan kemajuan secara berarti dalam menjawab pelbagai tantangan dan problematika kontemporer. Salah satu persoalannya ditengarai karena wacana pemikiran tersebut belum memiliki visi kebangkitan yang mendasar dan menyeluruh, sehingga senantiasa gagal memahami realitas aktual. Padahal visi peradaban (ar-ru’yah al-hadlâriah) sangatlah penting dalam menopang proyek kebangkitan. Dalam rentang sejarah kebudayaan manusia, cara pandang visioner dan daya kreatifitas manusialah yang senantiasa menjadi fondasi dasar setiap peradaban maju.
Dalam perspektif al-Mestiri, ar-ru’yah al-hadlâriah merepresentasikan kemampuan visioner suatu bangsa dalam melihat dan memahami kemaslahatan bersama umat Islam, baik terkait realitas aktual maupun cita-cita masa depan peradabannya. Prinsip kemaslahatan bersama inilah yang sejatinya menjadi acuan dasar bagi setiap rumusan fikih legal-formal yang mengikat umat Islam secara internal, maupun etika universal bagi seluruh umat manusia yang dirumuskan secara kolektif (al-ijtihâd al-jamâ`i). Dalam arti lain, ar-ru’yah al-hadlâriah dalam pemikiran al-Mestiri merupakan upaya otentifikasi aspek kemanusiaan dalam wacana pemikiran Islam kontemporer.[23]Pada titik ini, al-Mestiri memandang pentingnya umat Islamkeluar dari dikotomi mukmin-kafir ataupun kesadaran politik-sektarian, lalu berpijak pada prinsip humanisme universal (al-insâniah al`âmah). Karena walaupun wacana fikih ataupun aspek-aspek ritual-keagamaan merupakan prinsip dasar risalah Muhammad saw, namun pengetahuan secara umum merupakan cara manusia merawat cita-cita peradabannya.
Selain terlalu dominannya aspek politik-kekuasaan yang bersifat sektarian dalam wacana kebangkitan Islam, keterpurukan umat Islam juga disebabkan oleh kecenderungan fatalistik.Kecenderungan ini telah membentuk karakter pesimistis umat Islam dalam menghadapi realitas aktual berikut persoalan yang melingkupinya.Karakter pesimistis juga telah membentuk pola pikir defensif saat dihadapkan pada perubahan-perubahan realitas politik dan sosial kontemporer. Persoalan-persoalan seperti kolonialisme dan imperialisme yang tengah menimpa kemanusiaan, sering kali dihadapi dengan cara-cara yang emosional-subjektif dan ideologis, bukan rasional kritis-objektif.[24]Mengacu pada persoalan-persoalan internal pemikiran Islam semacam ini, al-Mestiri melihat pentingnya suatu upaya pembaharuan dalam wacana pemikiran Islam.
Namun al-Mestiri memperingatkan bahwa setiap peradaban tidak pernah berpijak pada capaian pengetahuan yang benar-benar baru.Dalam arti, peradaban merupakan proses yang bersifat kontinu, sehingga proses menjadi manusia berperadaban senantiasa berpijak pada capaian-capaian pemikiran dan pengetahuan manusia di suatu babakan sejarah tertentu yang berkembang sebelumnya.Renaissance yang menjadi titik tolak pembasisan nalar Eropa modern, misalnya, sangat terpengaruh oleh capaian-capain peradaban Islam abad pertengahan.Maka menjadi kesalahan tersendiri dalam internal pemikiran Islam kontemporer jika menyerukan pentingnya pembaharuan, namun dengan cara mengabaikan atau melepaskan diri dari capaian pengetahuan modern.[25]
Pemahaman al-Mestiri atas visi peradaban semacam ini menegaskan bahwa upaya otentifikasi yang diwacanakannya mengandaikan satu bentuk komunikasi dialektis antara Islam sebagai basis nilai dan kesadaran, dengan capaian pengetahuan Barat modern. Dengan demikian, otentifikasi dalam perspektif al-Mestiri bukan upaya memproyeksikan atau mengangkat kembali pelbagai wacana turâts klasik di kancah kebudayaan kontemporer(`ashranah al-khithâb at-turâtsi), melainkan proses kreatif umat Islam untuk menemukan satu paradigmabaru Islam kontemporer dalam memahami nilai-nilai kemanusiaan yang berpinsipkan keadilan sosialdan sesuai dengan capaian pengetahuan dan spirit peradaban masanya.

c.                  Persoalan Strategi Pengetahuan Islam
Dalam proses menjadi manusia berperadaban tentu memerlukan strategi pengetahuan yang tepat, bukan membiarkannya menggelinding tak terrencana.Urgensitas strategi pengetahuan ini telah dicontohkan dalam proses pembumian nilai-nilai al-Qur’an di awal perkembanannya. Respon al-Qur’an terhadap pranata-pranata sosial dan kebudayaan Arab jahiliah mengunakan—sekurangnya—tiga strategi mendasar. (1) Tahmîl (adoptive-complement), yang berarti penerimaan atau pembiaran berlakunya sebuah tradisi. (2) Tahrîm (destuctive), yang berarti penolakan atas berlakunya sebuah tradisi. (3) Taghyîr (adoptive-reconstructive), yaitu penerimaan sebuah tradisi masyarakat setelah dilakukan modifikasi tertentu, sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an.[26]
Persoalan pentingnya umat Islam memiliki strategi pengetahuan dalam upaya melepaskan diri dari keterpurukannya di kancah kebudayaan dan peradaban kontemporer ini sangat disadari oleh al-Mestiri.Dijelaskannya,reformasi pemikiran Islam kontemporer harus ditopang oleh pemahaman mendalam terhadap perubahan realitas sosial, beserta prioritas dan tahapan-tahapan yang terjadi di dalamnya. Hanya saja bagi al-Mestiri, upaya kebangkitan peradaban Islam selama ini tidak memiliki strategi dan perencanaan yang memadai.Dampaknya, persoalan-persoalanaktual, seperti regulasi hijab, hudûd,sekulersime, terorisme, dan pelbagai isu-isu lainnya yang dihadapi umat Islam,cenderung disikapi menggunakan pola pikir defensif, sentimental, emosional, dan reaksioner.Padahal menurut al-Mestiri, berpolemik terlalu dalam di seputar itu hanyalah polemik artifisial, bukan substansial, bahkan cenderung sarat bias-bias ekonomi-potitik global, sehingga tidak berdampak mendasar pada upaya kebangkitan Islam.[27]
Bagi al-Mestiri, maksud strategi pengetahuan di sini bukanlah instrumentalisasi agama atau sebatas lobi-lobi politik untuk mengukuhkan identitas Islaman sich, melainkan perspektif kebaikan bersama dengan berbasiskan kemaslahatan dan kemanusiaan universal yang berjuang untuk menjadi menjadi masyarakat yang beradab yang melibatkan seluruh pengalamanumat manusia.[28]Kemuliaan manusia [al-Isra’: 70],[29] keniscayaan untuk saling mengenal satu-sama lain [al-Hujarat: 13],[30] sekaligus keniscayaan adanya perbedaan-perbedaan di antara manusia [Huud: 118],[31] merupakan pengukuhan intensi dasar Islam terhadap kemanusiaan universal, sekaligus menegaskan visi rahmatan li al-`âlamîn (rahmat bagi semesta). Perjumpaan antara kemanusiaan dan keislaman ini menegaskan bahwa ukhuwwah basyariyyah merupakan strategi dasar di tengah realitas global dan multikultural.
Strategi ini penting dimiliki dalam kesadaran umat Islam untuk menemukan konsensus minimal dalam pergaulan dunia, sekaligus proteksi manusia dari pengalaman-pengalaman negatif dan keterancaman bersama, seperti kemiskinan, kebodohan, pengangguran, penjajahan, dan prostitusi, human trafficking, dan ironi-ironi penindasan kemanusiaan lainnya. Dengan demikian, penekanan prinsip ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan umat manusia) dan keadilanmerupakan strategi dasar yang harus diprioritaskandalam konteks masyarakat global, melampaui batas-batas regional rasial, kultural, hingga agama.
Untuk menopang wujud praksis dari kemanusiaan yang berkeadilan dan berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan universal(ukhuwwah basyariyyah),al-Mestiri menekankan pentingnya umat Islam memiliki basis epistemologi yang bersifat kolektif (al-ma`rifah al-musytarakah), serta skala prioritas dalam pengembangannya. Hal ini penting untuk menghindari pola pikir yang bersifat sektarian dan rasialis.[32]Dalam arti lain, walaupun keragaman basis moral-kultural dan agama merupakan fakta-fakta kongkrit yang sulit dipertautkan antara satu dengan lainnya, seperti tauhid yang menjadi basis nilai khas dalam konteks masyarakat muslim yang terrumuskan dalam konsep ukhuwwah islâmiyyah (persaudaraan umat muslim), namun bukan berarti spirit kemanusiaan universal tidak memiliki strategi-strategi kreatif yang mampu menemukan satu gambaran kemanusiaan bersama.

d.                 Persoalan Pembaharuan Fundamen DasarPemikiran Islam
Di tengah perubahan realitas sosial dan konfigurasi masyarakat kontemporer yang sudah sedemikian radikal, al-Mestiri menekankan pentingnya pembaharuan fundamen dasar pemikiran Islam; yaitu dengan kajian kritis terhadap acuan-acuan metodis serta restrukturasi sosial-kemasyarakatan. Sehingga spirit peradaban yang disuarakan umat Islam tidak sebatas retorika-retorika keagamaan yang emosional dan cenderung mengarah pada upaya-upaya mitologisasi dan sakralisasi agama. Hal ini pada akhirnya hanya membawa spirit peradaban pada sebuah cara pandang dikotomis, misalnya, antara agama dan negara, antara muslim dan kafir, antara ilmu Islam dan non-Islam, dan pelbagai cara pandang dikotomis lainnya.
Upaya-upaya pembaharuan fundamen dasar pemikiran Islam telah banyak dilakukan, sebagaimana upaya pembaharuan wacana ushûl fiqh dan maqâshid syarî`ah yang dianggap sebagai pengantar metodologis bagi pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Namun bagi al-Mestiri, hal tersebut hanyalah tuntutan minimal dalam upaya pembaharuan di tengah kesadaran umat Islam yang masih berorientasi pada aspek legal-formal dan nalar prosedural.
Terlalu kukuhnya nalar legal-formal dan nalar prosedural dalam kesadaran umat Islam malah menghadirkan cara pandang pembaharuan pemikiran Islam yang cenderung pragmatis, bukan strategis. Jargon-jargon semisal Khilafah Islamiah, Islam adalah Solusi, Hukum Tuhan, telah melupakan aspek mendasar terkait bagaimana menjadi manusia yang berperadaban. Dampaknya, gambaran manusia direduksi sedemikian rupa ke dalam realitas umat muslim belaka, kemudian dilepaskan dari pertautannya dengan praktik sosial dan moralitas yang tengah berkembang di kancah pemikiran kontemporer yang multi-kultural dan multi-religius.[33]Cara berfikir prosedural ini kemudian merepresentasikan ‘rasio instrumental’, atau sebagai ‘pemikiran identitas’ yang tengah terjadi dalam pemikiran Islam kontemporer.
Dijelaskan al-Mestiri,pembaharuan pemikiran Islam haruslah terjadi dari dalam peradaban yang tengah berkembang, bukan dari luar; yaitu dengan memanfaatkan capaian-capaian pengetahuan manusia sepanjang sejarah peradabannya. Hal ini dikukuhkan oleh kenyataan bahwa realitas pengetahuan umat Islam tengah berada dalam situasi antara kekayaan khazanah turâts dan akumulasi pengetahuan modern yang diperas dari pengalamanumat manusia kontemporer. Maka sebagaimana prinsip at-ta’shîl lâ yumkin illa mu`âshiran,fundamen dasar proses pembaharuan pemikiran Islam kontemporer menurut al-Mestiri harus berpijak pada prinsip komposisional dan multi-dimensional (murakkabah wa muta`addidah at-takhashus),serta observasional/riset(al-murâqabah al-mîdâniyyah), bukan dekomposisional, mono-dimensional.Prinsip ini sekaligus menegaskan bahwa ijtihad harus dilakukan secara kolektif, bukan individual.[34]

V.                Epilog: Harmonisasi dalam Pembaharuan Pemikiran Islam
Perkembangan wacana pemikiran manusia senantiasa dikonstruksi lewat sebuah perjumpaan kreatifatau harmonisasi (at-taufîqiyyah). Dalam konteks pemikiran Islam, perjumpaan kreatif atau harmonisasi tersebut terjalin antara akal dan wahyu.Hal ini merupakan karakteristik khas dari Islam itu sendiri yang melibatkan realitas transendental dalam memahami dunianya. Hanya saja, umat Islam tengah kehilangan visi dan pembacaan objektif terhadap fondasi dasar keberagamaannya. Iman sering kali ditampilkan dalam wajah yang emosional, bahkan mungkin yang tersisa dari pemahaman keagamaan hanyalah bingar-bingar sengkarut-sengketa [t]uhan di ruang ilusifyang memicu cara keberagamaan secara marah.
Menggunakan spirit harmonisasi semacam ini, al-Mestiri sendiri berupaya mengembalikan spirit dan nilai tauhid yang berdaya sosial dan berperspektif kemaslahatan dan kemanusiaan.Karena pada prinsipnya, Islam menyediakan dasar-dasar bagi praksis pemuliaan manusia, namun di sisi lain dasar-dasar tersebut disempitkan sedemikian rupa sehingga malah menciptakan kondisi dehumanisasi tauhid Islam itu sendiri. Untuk itu, perlu adanya tilikan-tilikan baru yang mampu mengafirmasi kamanusiaan di dunia kontemporer dan dalam realitas masyarakat global.[35]













Daftar Pustaka

Abu Zaid, Nasr Hamid.Mafhum an-Nash: Dirâsah fi ‘Ulum al-Qur’an,cet, ke-6, Beirut: al-Markaz ats-Tsaqafi, 2005.
al-Jabiri, Muhammad Abed.Isykâliyât al-Fikr al-`Arabi al-Mu`âshir, cet. ke-6, (Markaz Dirasat al-Wahdah al-`Arabiah: Beirut), 2010.
_______________________, Takwîn al-`Aql al-`Arabiy, cet. ke-10,Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-`Arabiah, 2009.
al-Mestiri, Mohamed.Jadal at-Ta’tshîl wa al-Mu`âshirah fî al-Fikr al-Islâmi, cet. ke-1, (Tunis: Mansyurat Karim asy-Syarif), 2014.
Hanafi, Hassan.Oksidentalisme, terj. M. Najib Buchori, cet. ke-1, (Jakarta: Paramadina), 2000.
McLeod, Hugh.Secularization in Western Europa, cet. ke-1, London: Macmillan Press, 2000.
Rahman, Fazlur.Islam, cet. ke-2, (USA: The University of Chicago Press) 1979.
Sodiqin, Ali.Antropologi al-Qur’an, cet. ke-2, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Turner,Bryan. “Religion in Post-Secular Society”,dalam Bryan S. Turner (ed.), The Sociology of Religion, cet. ke-1, UK: Wiley-Blackwel, 2010.


[1] Menurut al-Jabiri, kemunculan tiga model paradigma intelektual Arab ini merupakan dampak langsung perseteruan ideologis antara fundamentalisme dengan modernisme, liberalisme dengan sosialisme, hingga regionalisme dengan nasionalisme, yang berusaha mengukuhkan diri di tengah arus modernitas. Muhammad Abed al-Jabiri, Isykâliyât al-Fikr al-`Arabi al-Mu`âshir, cet. VI, (Markaz Dirasat al-Wahdah al-`Arabiah: Beirut, 2010), hlm. 15-17
[2]Mohamed al-Mestiri, Jadal at-Ta’tshîl wa al-Mu`âshirah fî al-Fikr al-Islâmi, cet. I, (Tunis: Mansyurat Karim asy-Syarif, 2014), hlm. 11
[3]Ibid.,hlm. 269-270
[4]Ibid.,hlm. 13
[5] Berbeda dengan peradaban Yunani yang dicirikan sebagai peradaban akal, ataupun Mesir kuno sebagai ‘peradaban setelah kemtian’ (hadlârah mâ ba`da al-maut), keterikatan peradaban Islam dengan nashal-Qur’an menjadikannya dicirikan sebagi peradaban Teks (hadlârah al-nash). Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash: Dirâsah fi ‘Ulum al-Qur’an,cet, VI, (Beirut: al-Markaz ats-Tsaqafi, 2005), hlm. 24-25
[6] Peradaban centripete (sentripetal) adalah peradaban yang bergerak menuju pusat atau sumbu. Dalam arti, ilmu-ilmu yang dihasilkan peradaban sentripetal senantiasa berputar mengelilingi satu poros. Dengan demikian, ego mewakili pusat dan berinovasi dalam kapasitas tersebut. Sedangkan peradaban centrifuge (sentrifugal) adalah peradaban yang menjauhi pusat, setelah diketahui kelemahan-kelemahannya dan setelah tumbangnya ilmu-ilmu yang dihasilkan akibat ketidakmampuannya menghadapi kritik akal dan kekuatan eksperimentasi. Hassan Hanafi, Oksidentalisme, terj. M. Najib Buchori, cet. I, (Paramadina: Jakarta Selatan, 2000),hlm. 128
[7] Fazlur Rahman menjelaskan bahwa pada prinsipnya al-Qur’an lebih menekankan pada aspek praksis dan rumusan-rumusan etis suatu tatanan sosial-kemasyarakatan Islam. Kandungan di dalamnya lebih banyak mengajarkan totalitas penghambaan kebada Tuhan secara doktrinal, tanpa harus melakukan penalaran filosofis lebih jauh. Konsekuensinya, corak nalar Islam tidak pernah benar-benar menjadi teori filosofis murni. Maka wajar jika diskursus teologi Islam cenderung bertegangan (dialektis) di antara ranah doktrinal dan filosofis. Lihat: Fazlur Rahman, Islam, cet. II, (The University of Chicago Press: USA, 1979) hlm. 85
[8]Hassan Hanafi, Oksidentalisme, hlm. 126
[9]Mohamed al-Mestiri, Jadal at-Ta’tshîl wa al-Mu`âshirah, hlm. 11
[10]Ibid..
[11]Ibid.,hlm. 12
[12]Ibid.,hlm. 17
[13] Para sejarawan berbeda pendapat terkait asal-usul, penyebab, dan penyebaran gerakan sekulaisasi Barat. Terdapat empat asumsi dalam melacak genealogi sekularisme Barat. Pertama, banyak sejarawan mengidentifikasi bahwa geliat sekularisme di Eropa, kususnya Jerman dan Prancis, bahkan Inggris, terjadi sejak abad Pencerahan (Enlightenment). Kedua, sekulerisme merebak di Eropa sejak Revolusi Industri yang mengakibatkan terjadinya urbanisasi masyarakat desa menuju kota. Ketiga, sekularisme dimulai sejak pertengahan abad ke-19, yaitu saat mulai menggeliatnya perkembangan ilmu pengetahuan (science), filsafat, dan studi-studi agama secara lebih diskursif. Dalam hal ini, Charles Darwin menjadi figur sentral kemunculan sekularisme dan penerbitan buku On The Origin of Species (1959) sebagai moment historisnya. Keempat, sekularisme Barat terjadi sejat tahun 1960-an, yaitu masa ketika pelbagai ritual keagamaan di greja mengalami penurunan secara drastis. Hugh McLeod, Secularization in Western Europa, cet. I, (London:Macmillan Press, 2000), hlm. 4-5
[14] Thomas Hidya Tjaya, Humanisme dan Skolastisisme, cet. V, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 17
[15]Sekularisme bisa dipahami dalam dua bentuk. Pertama, sekularisme politik (political secularization) yang merujuk pada institusi publik dan konvensi-konvensi politik yang memberikan perhatian pada isu-isu seputar sejarah pemisahan antara negara dengan agama (gereja). Kedua, sekularisme-sosial (social secularization) yang lebih memberikan perhatian pada persoalan nilai, kultur-kebudayaan, dan prilaku sosial.Sekularisasi politik sendiri banyak berkutat pada aspek-aspek institusional dan formal, sedangkan sekularisasi sosial bercorak informal dan lebih memperhatikan konfigurasi sosial-kultural. Bryan S. Turner,“Religion in Post-Secular Society”,dalam Bryan S. Turner (ed.), The Sociology of Religion, cet. I, (UK: Wiley-Blackwel, 2010), hlm. 651
[16] Istilah ‘post’ ini sendiri bisa dimaknai sebagai proyek lanjutan dari modernitas untuk menambal kecacatan-kecacatan yang diimplikasikannya, namun tetap memiliki keyakinan terhadap pelbagai capain modernitas itu sendiri. Istlah tersebut bisa juga dimaknai sebagai upaya ‘melampaui’ modernitas, dengan menghadirkan suatu paradigma baru yang bertolak belakang.
[17]Mohamed al-Mestiri, Jadal at-Ta’tshîl wa al-Mu`âshirah, hlm. 17
[18]Ibid.,hlm. 17-18
[19]Ibid..hlm. 18
[20]Ibid.,hlm. 19-20
[21]Muhammad Abed al-Jabiri, Takwîn al-`Aql al-`Arabiy, cet. X, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-`Arabiah, 2009), hlm. 17-18
[22]Hassan Hanafi, Oksidentalisme, hlm. 134
[23]Mohamed al-Mestiri, Jadal at-Ta’tshîl wa al-Mu`âshirah, hlm. 20-21
[24]Ibid.,hlm. 22
[25]Ibid.,hlm. 23
[26] Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an,cet. II, (Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 116-117
[27] Mohamed al-Mestiri, Jadal at-Ta’tshîl wa al-Mu`âshirah, hlm. 24
[28]Ibid.,hlm. 26
[29]Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
[30]Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
[31]Jikalau Tuhanmumenghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.
[32]Ibid.,hlm. 26-27
[33]Ibid.,hlm. 28-29
[34]Ibid.,hlm. 29-30
[35]Ibid.,hlm. 32-33
Otentisitas dan Aktualitas dalam Pemikiran al-Mestiri Otentisitas dan Aktualitas dalam Pemikiran al-Mestiri Reviewed by adeardo on 12.11 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Gallery

ade ardo fittra. Gambar tema oleh Deejpilot. Diberdayakan oleh Blogger.