Technology

FAKTOR INTERNAL YANG MEMPENGARUHI BELAJAR SISWA KECERDASAN (Intelligence Quotient )

FAKTOR INTERNAL YANG MEMPENGARUHI BELAJAR SISWA
KECERDASAN (Intelligence Quotient )

Oleh :Ade Ardo Fittra

A.      Latar Belakang
Prestasi belajar yang dicapai seorang individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu (dibaca: anak). Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu siswa dalam mencapai prestasi belajar yang sebaik-baiknya. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam proses belajar individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar. Dalam hal ini yang yang akan dibahas adalah faktor eksternal anak dalam belajar yaitu kecerdasan.
Di negara-negara maju, masalah kecerdasan amat penting dan diperhatikan dalam dunia pendidikan dan telah dibuat tes standar kecerdasan sehingga dapat dipakai untuk mengukur tingkat kecerdasan anak-anak maupun orang tua (dewasa). Secara umum, masyarakat mengidentikkan kecerdasan adalah seseorang anak yang memiliki nilai baik dalam bidang akademiknya atau prestasi yang diraihnya melalui proses pendidikan. Kecerdasan seperti itu memiliki makna yang sangat sempit dan kecerdasan akademik merupakan salah satu bagian dari yang namanya kecerdasan (Intellegence Quitient).
      Kecerdasan merupakan sebuah tolak ukur yang akan dijadikan sebagai landasan dalam dunia pendidikan, bukan memberikan cap anak bodoh dan anak pintar. Padahal Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Menurut Thomas Amstrong pakar pendidikan dari Amerika, setiap anak dilahirkan dengan membawa potensi yang memungkinkan menjadi cerdas. Sifat yang menjadi bawaan tersebut antara lain: keingintahuan, daya eksplorasi terhadap lingkungan, spontanitas, vitalitas, dan fleksibilitas. Dipandang dari sudut ini maka tugas setiap orang tua dan pendidik adalah mempertahankan dan mengembangkan sifat-sifat yang mendasari kecerdasan ini agar terus bertahan sampai anak tumbuh dewasa.
Anak adalah anugerah terindah yang dititipkan Tuhan Yang Maha Esa kepada orangtuanya. Seharusnya kita bersyukur dan memelihara amanah yang diberikan Tuhan dengan baik. Anak merupakan sebuah keunikan dan memiliki ciri sendiri dan berbeda dengan yang lainnya. Semua anak jelas memiliki kecerdasan yang berbeda-beda.


B.     Pengertian Kecerdasan
Kecerdasan atau atau Intelligence memiliki pengertian yang sangat luas. Banyak definisi yang diajukan oleh sarjana, namun satu sama lain berbeda. Sehingga tidak memperjelas definisi kecerdasan secara tepat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia cerdas diartikan sebagai perihal cerdas (sebagai kata benda), atau sempurna  perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti,dsb).[1]
Woodworth mengemukakan bahwa intelegensi adalah suatu tindakan yang bijaksana dalam menghadapi setiap situasi secara cepat dan tepat. Walters dan Gardner mendefinisikan intelegensi sebagai suatu kemampuan atau serangkaian kemampuan-kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan masalah atau produk  sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu.[2]
Dalam dunia psikologi memiliki pengertian berbeda dalam mengartikan kecerdasan / Intelligence Quotient (IQ). Hal ini karena dalam melakukan penelitian menggunakan metode, perspektif, dan pendekatan yang berbeda sehingga menghasilkan pengertian yang berbeda-beda. Beberapa ahli mendekripsikan inteligensi sebagai keterampilan penyelesaian masalah, ahli lain mendeskripsikannya sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman kehidupansehari-hari.
Berikut ini dikemukakan beberapa konsep IQ  yang dikemukakan oleh para ahli di bidangnya.[3]
1.        Konsep Kecerdasan Menurut Vernon (1935).
Vernon telah membuat sistematika dan definisi mengenai kecerdasan dan menggolongkannya menjadi tiga kategori yaitu pertama, Kecerdasan di tinjau secara biologis. Kecerdasan di tafsirkan sebagai kemampuan dasar manusia yang secara relatif diperlukan untuk penyesuaian diri pada alam sekitar yang baru. Kedua, kecerdasan ditinjau secara psikologis. Kecerdasan merujuk adanya pengaruh-pengaruh relatif keturunan dan lingkungan sekitar terhadap perkembangan kecerdasan individu. Ketiga, kecerdasan di tinjau secara operasional yaitu kecerdasan di definisikan dalam pelaksanaan atau dalam aplikasinya secara operasional dengan menggunakan istilah-istilah yang pasti. 
2.        Konsep Kecerdasan Menurut Alfred Binet (1916)
Menurut binet  kecerdasan adalah kecenderungan untuk mengambil dan mempertahankan pilihan yang tepat, kapasitas untuk beradaptasi, dengan maksud untuk memperoleh tujuan yang diinginkan dan kekuatan untuk autokritik.
3.        Konsep Kecerdasan Menurut Freeman
Kecerdasan dipandang sebagai suatu kemampuan yang dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu kemampuan adaptasi, belajar, dan kemampuan berpikir abstrak.
Para ahli psikologi mengartikan kecerdasan sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk memperoleh pengetahuan, menguasainya dan mempraktekkannya dalam pemecahan suatu masalah.
Dewasa ini kecerdasan memiliki jenis-jenis yang berbeda dan secara umum yang dipahami dewasa ini terdiri dari; kecerdasan intelektual atau Intelegent Quotient (IQ), kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ),dan kecerdasan spritual atau Spiritual Quotient (SQ). Berikut ini penjelasan masing-masing jenis kecerdasan tersebut:
1.          Kecerdasan Intelektual atau Intelegent Quotient (IQ): adalah bentuk kemampuan individu untuk berfikir, mengolah, dan menguasai lingkungannya secara maksimal serta bertindak secara terarah. Kecerdasan ini digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis.
2.            Kecerdasan Emosional atau Emotional Quotient (EQ): adalah kemampuan untuk mengenali, mengendalikan dan menata perasaan sendiri dan perasaan orang lain secara mendalam sehingga kehadirannya menyenangkan dan didambakan orang lain. Kecerdasan ini memberi kita kesadaran mengenai perasaan milik diri sendiri dan juga perasaan milik orang lain, memberi rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat.
3.            Kecerdasan Spritual atau Spiritual Quotient (SQ): adalah sumber yang mengilhami dan melambungkan semangat seseorang dengan mengikatkan diri pada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu. Kecerdasan ini digunakan untuk membedakan baik dan buruk, benar dan salah, dan pemahaman terhadap standar moral.
Definisi dari berbagai tokoh tersebut menunjukkan adanya pergeseran dari usaha menemukan atau membuat faktor general, sesuatu yang standar untuk semua orang, menjadi sesuatu yang unik bagi setiap orang.

C.       Cara Mengukur Kecerdasan
Meskipun para ilmuan psikolog belum mencapai mufakat mengenai apa yang diartikan dengan inteligensi, mereka telah mencoba mengukur inteligensi selama lebih dari satu abad.
Dalam psikologi, pengukuran kecerdasan individu diukur menggunakan tes kecerdasan. Seperti pengukuran kecerdasan individu yang dilakukan oleh Binet seorang ahli pendidikan dari perancis. Awalnya pada tahun 1905 Binet diberi tugas oleh Menteri Pendidikan negara untuk menyeleksi anak-anak yang akan masuk ke sekolah biasa. Untuk dapat menjalankan tugasnya, Binet menyusun tes kecerdasan yang mengukur pengetahuan umum, perbendaharaan kata, persepsi, memori, dan pemikiran abstrak. Ketika mengerjakannya, ia merancang versi awal yang kini disebut dengan tes inteligensi (intelligence test).[4]
Skor-skor IQ dalam tes inteligensi awalnya di hitung dengan menggunakan rumus pembagian. Hasilnya disebut intelligence quotient scores atau IQ. Rumusnya sebagai berikut:
MA : CA = IQ
Keterangan:
MA   = Mental Age (umur kecerdasan)
CA    = Chronological Age (Umur Kalender)
IQ     = Intellegence Quotient (kecerdasan)
Tiap butir tes disesuaikan dengan tingkat usia yang ditempuh sebagian besar anak. Usia mental anak di peroleh dari penjumlahan banyaknya soal butir soal yang dijawab dengan tepat.
Kecerdasan merupakan faktor psikologis yang paling penting dalam proses belajar siswa, karena itu menentukan kualitas belajar siswa. Semakin tinggi inteligensi seorang individu, semakin besar peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat inteligensi individu, semakin sulit individu itu mencapai kesuksesan belajar. Oleh karena itu, perlu bimbingan belajar dari orang lain, seperti guru, orang tua, dan lain sebagainya. Sebagai faktor psikologis yang penting dalam mencapai kesuksesan belajar, maka pengetahuan dan pemahaman guru profesional tentang kecerdasan perlu dimiliki, sehingga mereka dapat memahami tingkat kecerdasannya.
Para ahli membagi tingkatan IQ bermacam-macam, salah satunya adalah penggolongan tingkat IQ berdasarkan distribusi yang dibuat oleh Terman dan Merill berdasarkan pada Stanford Revision sebagai berikut:[5]
Tabel 1 Distribusi IQ menurut Stanford Revision
IQ
N
Presentasi
Klasifikasi
160 - 169
1
0,03
Amat Superior
150 – 159
6
0,02

140 – 149
32
1,10

130 – 139
89
3,10
Superior
120 – 129
239
8,20

110 – 119
524
18,10
Rata-rata tinggi
100 – 109
685
23,50
Rata-rata
90 – 99
667
23,00

80 – 89
422
14,50
Rata-rata rendah
70 – 79
164
5,60
Batas lemah mental
60 – 69
57
2,00

50 – 59
12
0,40
Lemah mental
40 – 49
6
0,20

30 - 39
1
0,03


Pemahaman tentang tingkat kecerdasan individu dapat diperoleh oleh orang tua dan guru atau pihak-pihak yang berkepentingan melalui konsultasi dengan psikolog atau psikiater. Sehingga dapat diketahui anak didik berada pada tingkat kecerdasan yang mana, amat superior, superior, rata-rata, atau mungkin malah lemah mental. Informasi tentang taraf kecerdasan seseorang merupakan hal yang sangat berharga untuk memprediksi kamampuan belajar seseorang. Pemahaman terhadap tingkat kecerdasan peserta didik akan membantu megarahkan dan merencanakan bantuan yang akan diberikan kepada siswa.

D.      Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan
Inteligensi orang satu dengan yang lain cenderung berbeda dan memiliki keunikan masing-masing. Hal ini karena adanya beberapa yang mempengaruhi. Adapun faktor yang mempengaruhi intellegensi antara lain sebagai berikut:
1.         Faktor keturunan/hereditas/gen
Hereditas adalah proses penurunan sifat-sifat aau ciri-ciri dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui plasma benih. Sifat yang dibawa anak sejak lahir merupakan perpaduan antara khromosom ayah dan khromosom ibu. Dalam hal ini yang diturunkan adalah strukturnya, artinya bukan bentuk-bentuk tingkah laku melainkan ciri-ciri fisik yang ditentukan oleh keturunan, antara lain struktur otak.
Penentuan sifat bawaan mempengaruhi perkembangan selanjutnya dalam dua hal, yaitu:[6] pertama, faktor keturunan membatasi sejauh mana individu dapat berkembang, kalau kondisi-kondisi sebelum dan sesudah lahir menguntungkan, dan kalau seseorang mempunyai dorongan yang sangat kuat, ia dapat mengembangkan sifat-sifat fisik dan mental yang diwarisinya sampai batas maksimumnya, tetapi tidak dapat berkembang lebih jauh. Kedua, bahwa sifat bawaan sepenuhnya merupakan masalah kebetulan, tidak ada cara tertentu untuk mengendalikan jumlah kromosom dari pihak ibu atau ayah yang akan diturunkan pada anak.
2.         Faktor lingkungan
Perkembangan manusia sangat ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari lingkungan hidupnya. Faktor lingkungan merupakan bagian dari kehidupan anak didik, dalam lingkungan ini, anak didik hidup dan berinteraksi dalam mata rantai kehidupan. Sebagian besar ahli saat ini setuju bahwa lingkungan juga memainkan peran penting dalam inteligensi (Campbell, 2006; Comer, 2006; Sternberg & grigorenko, & Kidd 2004).[7] Hal ini berarti memperbaiki lingkungan (nurture) anak-anak bdapat meningkatkan inteligensi mereka.
3.    Faktor minat dan pembawaan yang khas, di mana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan atau motif yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar, sehingga apa yang diminati oleh manusia dapat memberikan dorongan untuk berbuat giat dan lebih baik.[8]
4.    Faktor pembentukan. Dimana pembentukan adalah segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi.[9]
5.    Faktor kematangan, di mana tiap organ tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik maupun psikis, dapat dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh dan berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.[10]
6.    Faktor kebebasan, yang berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi.[11]
Dengan demikian lingkungan yang berbeda akan menyebabkan terjadinya perbedaan individual. Fakta seperti ini di dukung oleh hasil penelitian ahli yang dikenal dengan paham empirisme dan behaviorisme. Kedua penganut paham ini sependapat bahwa lingkungan berpengaruh nyata terhadap perkembangan individu.

E.       IQ dan Prestasi Sekolah
Tes inteligensi modern yang telah dirancang oleh binet awalnya memiliki tujuan yaitu memprediksikan seberapa baik performa setiap siswa di kelas dan dalam situasi-situasi serupa. Pada umumnya, siswa yang memiliki nilai skor IQ yang tinggi, itu mampu mengerjakan dengan lebih baik  pada tes terstandarisasi, memiliki nilai yang tinggi, dan mengikuti pendidikan lebih lama. Secara umum, skor IQ selalu memprediksikan dengan prestasi sekolah, meskipun kurang tepat. Meskipun demikian, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan hubungan antara skor tes inteligensi dan prestasi sekolah:[12]
1.      Inteligensi tidak niscaya mempengaruhi prestasi, melainkan hanya sekedar berkorelasi. Meskipun siswa memiliki skor IQ tinggi biasanya memperlihatkan performa yang lebih baik di sekolah, kita tidak dapat membuat kesimpulan secara meyakinkan bahwa prestasi mereka yang tinggi disebabkan inteligensinya saja. Inteligensi mungkin memainkan peranan yang penting terhadap prestasi sekolah, namun banyak faktor lain juga yang turut terlibat seperti: motivasi, mutu pengajaran, fasilitas dalam keluarga, dukungan orangtua, harapan teman-teman sebaya, dan sebagainya. 
2.      Hubungan antara skor-skor IQ dan prestasi tidaklah sempurna, terdapat banyak perkecualian. Karena berbagai alasan, beberapa siswa yang memiliki skor IQ tinggi tidak memperlihatkan prestasinya di sekolah dengan baik. Sementara siswa yang lain memperlihatkan prestasi sekolah yang jauh lebih tinggi dari yang diprediksikan berdasarkan skor IQ-nya saja. Selain itu, tes-tes inteligensi agaknya lebih dapat memprediksikan performa dalam tugas-tugas akademik tradisional dibandingkan memprediksikan performa dalam kehidupan sehari-hari, tugas di dunia nyata, atau persoalan-persoalan lain yang lebih spesifik dan tidak biasa.
3.      Skor IQ bisa berubah. Skor IQ memang dapat memprediksikan prestasi sekolah dalam periode singkat, katakanlah dalam satu atau dua tahun mendatang. Namun, skor IQ kurang berguna untuk memprediksikan prestasi dalam jangka panjang, khususnya apabila skor tersebut diperoleh di masa prasekolah atau sekolah dasar.
F.        Cerdas Menyikapi Skor Inteligensi dan IQ[13]
Sebagai pendidik kita harus menguasai cara-cara terbaik memelihara perkembangan intelektual siswa dan bagaimana kita dapat memberikan tafsiran yang masuk akal mengenai performa mereka dalam tes inteligensi. Berikut ini terdapat beberapa rekomendasi:
1.      Sediakan lingkungan yang dapat mendukung pertumbuhan intelektual dan perilaku inteligen. Pandangan kontemporer mengenai inteligensi memberikan alasan kepada kita untuk bersikap optimis terhadap apa yang dapat dicapai oleh siswa, khususnya ketika kita secara aktif mengasuh dan mendukung perkembangan kognitif mereka.
Agar perkembangan intelektualnya dapat berlangsung secara optimal, amak-anak membutuhkan berbagai pengalaman yang menstimulasi selama masa anak-anak, termasuk memperoleh mainan dan buku-buku yang sesuai dengan usianya, sering terlibat dalam interaksi verbal dengan orang dewasa dan anak-anak lain, serta memiliki kesempatan untuk mengamati dan mempraktikkan keterampilam perilaku dan kognitif yang penting.
2.      Anggaplah tes-tes inteligensi sebagai suatu bentuk pengukuran yang berguna namun tidak sempurna. Tes inteligensi ini merupakan kumpulan pertanyaan dan tugas yang dikembangkan para psikolog dan terus direvisi agar dapat memperoleh gambaran mengenai seberapa baik siswa berpikir, bernalar, dan belajar di suatu saat tertentu.
Namun, agar dapat menafsirkan skor IQ secara baik, kita harus memperhatikan keterbatasan-keterbatasan tes inteligensi, diantara:
a.         Jenis-jenis tes yang berbeda dapat memberikan skor-skor yang berbeda pula.
b.        Performa seorang siswa di setiap tes pasti dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat sesaat, seperti kesehatan secara umum, suasana hati dan lain sebagainya.
c.         Item-item tes biasanya berfokus pada keterampilan-keterampilan yang penting dalam arus utama budaya barat (bias barat), khususnya dalam setting sekolah.
d.        Kadangkala siswa tidak terbiasa dengan isi atau jenis tugas yang diberikan dalam suatu tes tertentu dan hal itu merupakan performa buruk pada item-item soal tersebut.
e.         Siswa yang kurang mahir dalam bahasa ingris (misalnya, imigran yang baru datang) dapat dirugikan apabila suatu tes keterbatasan-keterbatasan diselenggarakan dengan menggunakan bahasa ingris. Oleh karena itu skor IQ mereka biasanya kurang mencerminkan kapasitas sebenarnya.
f.         Beberapa siswa yang kurang termotivasi untuk memberikan performa secara optimal dalam mengikuti arus tes.
3.      Gunakan pengukuran-pengukuran yang lebih terfokus ketika anda ingin menilai kemampuan spesifik. Kapan pun kita memperoleh dan menggunakan skor IQ, kita ikut percaya pada gagasan yang menyatakan bahwa terdapat sebuah faktor umum, atau g yang mendasari performa siswa di sekolah.
4.      Carilah perilaku-perilaku yang memperlihatkan talenta yang luar biasa dalam konteks budaya siswa. Sejauh inteligensi dipengaruhi oleh budaya, perilaku inteligen bisa berbeda-beda bentuknya di antara anak-anak yang berasal dari latar belakang yang berbeda.
5.      Ingatlah bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi prestasi siswa dikelas. Sebagian besar pengukuran inteligensi berfokus pada hal-hal spesifik yang dapat dilakukan oleh siswa, dengan hanya sedikit mempertimbangkan apa yang mungkin akan dilakukan oleh siswa. Sebagai contoh: tes inteligensi tidak mengevaluasi sejauh mana siswa tertentu bersedia memandang sebuah situasi dari berbagai perspektif, mengakaji data secara kritis, atau bertanggung jawab. Hal ini merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam kemampuan intelektual dan menentukan keberhasilan menyelesaikan tugas-tugasnya di dunia nyata.

G.      Peranan Kecerdasan Dalam Belajar Siswa
Dalam proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan peranan IQ, namun persoalannya justru karena seringkali IQ hanya digunakan sebagai peran tunggal dalam sekolah. IQ hanya digunakan dalam proses penyeleksian masuk siswa baru atau sebagai bantuan untuk satu program tertentu yang seringkali tidak bersentuhan dengan kebijakan sekolah lainnya. Peran IQ yang semestinya dalam proses pendidikan adalah:
1.      Membantu penyeleksian siswa yang diharapkan oleh suatu lembaga pendidikan
2.      Membantu pengklasifikasian siswa agar memudahkan guru mengontrol keragaman siswa dalam satu kelas, dan tujuannya dapat mengatur kompetensi belajar, tutoring peer education dan lainnya
3.      Membantu guru memberikan porsi tugas tambahan sesuai tingkat kesulitan yang berbeda antara IQ rata-rata dan tinggi.
4.      Membantu guru memahami setiap tingkahlaku siswa dan memberikan intervensi yang tepat sesuai potensi yang sebenarnya ada pada diri mereka. Misal anak slow learner (lamban belajar) sehingga ia seriing tertinggal pelajaran, tidak naik kelas dan terkadang berkompensasi yang salah dengan melakukan perilaku nakal di kelas yang mereka anggap kelebihan mereka. Bagi seorang guru yang mengerti dan paham akan peran IQ, maka guru tersebut akan terus melibatkan siswa ini dalam kegiatan belajarnya dan tidak membuat semakin terjauhkan dari teman sejajarnya.
5.      Membantu guru dalam menentukan metode belajar yang tepat bagi siswa.
6.      Membantu guru untuk memberi pemahaman pada gaya belajar mana yang sesuai dengan diri mereka.
7.      Membantu sekolah membuat kebijakan terkait kegiatan-kegiatan ekstra yang sesuai dengan siswa-siswanya.
IQ merupakan salah satu faktor untuk mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar, artinya IQ bukan segala-galanya dalam menentukan keberhasilan siswa, tetapi harus ditempatkan secara proposional guna menunjang proses belajar yang optimal bagi siswa.
Hendaknya tes IQ dilakukan untuk melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada anak. Hal ini penting agar guru dan orangtua dapat memberi stimulasi sesuai dengan kebutuhan anak.  Tes IQ yang merupakan sebuah alat ukur kecerdasan, harus kita jadikan sebuah evaluasi psikologis bukan patokan dalam menentukan siswa bodoh atau pintar. Karena dengan dijadikannya tes IQ sebagai evaluasi psikologis,  guru dan orangtua atau guru dapat membantu anak sesuai dengan permasalahannya. Misalnya, anak yang kurang pemahaman bahasa, perlu dibantu agar meningkat pemahaman bahasanya.
Dalam evaluasi psikologis tidak hanya skor tes IQ saja yang dibutuhkan. Sebab hasil tes IQ berhubungan dengan masa lalu, pola asuh, hubungan orangtua dengan anak, kebiasaan belajar, karakter anak dan lingkungan. Asumsikan bahwa anak-anak yang berasal dari semua kelompok etnis ataupun ras memiliki potensi yang sama dan setara untuk mengembangkan berbagai kemampuan kognitif.
Setiap anak didik memiliki keunikan sendiri, guru sebagai master piece harus dapat membentuk dan mengembangkan kemampuan siswa yang sudah ada maupun terpendam. Pada hakikatnya manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna, tidak ada istilah anak bodoh dan pintar dalam dunia pendidikan yang ada hanya siswa yang fast learn dan slow learn. Siswa memiliki keagungan dan kehebatan sendiri, dan gurulah yang harus menemukannya. Allah berfirman dalam Q.S At-Tiin: 4
لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤
Artinya: “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (Qs. At-Tiin:4)

Ada sebuah cerita ataupun fakta yaitu seorang bocah berusia 4 tahun dan agak tuli, pulang ke rumahnya membawa secarik kertas yang ditulis oleh gurunya. Kertas tersebut diberikan kepada ibunya. Bunyinya seperti ini: “Tommy, anak Ibu, sangat bodoh. Kami minta Ibu untuk mengeluarkannya dari sekolah”
Sang ibu merasa terpukul. Namun, ia bertekad akan mendidik anaknya sendiri. Ia yakin bahwa Tommy bukan anak yang bodoh. Tommy hanya sempat mengenyam pendidikan formal selama 3 bulan dan selebihnya, Tommy dididik oleh ibunya.
Pada saat usianya 12 tahun, Tommy menghidupi dirinya dengan menjual koran, buah apel, dan gula-gula di sebuah jalur kereta api. Siapa kira, 20 tahun kemudian, bocah yang dianggap bodoh oleh gurunya ini menemukan lampu pijar listrik pertama. Anak ini adalah Thomas Alva Edison, penemu lampu listrik dan pemegang paten atas 1300 lebih penemuan. Selain Thomas Alva Edison yang mengalami hal serupa. Einstein, Newton, Stephen Hawking, Beethoven juga pernah dianggap anak yang tidak berbakat.


Kesimpulan
Kecerdasan atau atau Intelligence memiliki pengertian yang sangat luas. Kecerdasan merupakan sebuah kemampuan seseorang dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, belajar dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kecerdasan anak memiliki banyak macamnya dan memiliki keunikan, kekhasan sendiri.
Tes inteligensi yang selama ini diterapkan itu lebih kepada mengukur kemampuan siswa dalam pengetahuan umum, perbendaharaan kata, persepsi, memori, dan pemikiran abstrak. Tidak mengukur terhadap kemampuan yang lain, bahkan lebih komplek.
Tes inteligensi seringkali hanya digunakan sebagai peran tunggal dalam sekolah. IQ hanya digunakan dalam proses penyeleksian masuk siswa baru atau sebagai bantuan untuk satu program tertentu yang seringkali tidak bersentuhan dengan kebijakan sekolah lainnya. Kecerdasan merupakan salah satu faktor yang  mengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar, artinya IQ bukan segala-galanya dalam menentukan keberhasilan siswa, tetapi harus ditempatkan secara proposional guna menunjang proses belajar yang optimal bagi siswa. Pendidik yang profesional harus memahami betul makna kecerdasan, sehingga pendidik sebagai master piece siswa dapat membentuk dan mengembangkan kemampuan siswa yang sudah ada maupun terpendam.
Sehebat apapun kurikulum, fasilitas ataupun sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah, tanpa memahami betul makna kecerdasan dan keunikan setiap siswa. Sekolah tidak akan maju, dan akan memandang siswa sebagai robot yang hanya disuruh-suruh. Padahal Allah tidak pernah menciptakan sesuatu itu dengan produk gagal. Banyak orang yang dikatakan slow learn dalam belajar, merekalah yang sukses di dalam dunia nyata. Contohnya: Thomas Alfa Edison, Eintsten, dan masih banyak lagi.


DAFTAR PUSTAKA

ü  Ardani, Tristiadi Ardi, Psikiatri Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2008.

ü  Ormrod, Jeanne Ellis, Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh Dan Berkembang, Jakarta: Erlangga, 2008).

ü  Prawira, Purwa Atmaja, Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Baru, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.

ü  Santrock, John W., Psikologi Pendidikan Educational Psychology, Jakarta: Salemba. 2009.

ü  Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

ü  Djaali, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

ü  Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.



[1] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka,1989 ), hal. 208.
[2] Tristiadi Ardi Ardani, Psikiatri Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal. 169-170.
[3] Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Baru, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hal.136-140.
[4] Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh Dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2008), hal. 217.
[5] Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Baru, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hal. 186-187.
[6] Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 85.
[7] Jhon W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Educational Psychology, ed 3th,  (Jakarta: Salemba, 2009), hal. 165.
[8] Djaali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 74.
[9] Ibid., hal. 75.
[10] Ibid., hal. 75.
[11] Ibid., hal. 75.
[12] Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh Dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2008), hal. 219.
[13] Ibid., hal. 222-225.
FAKTOR INTERNAL YANG MEMPENGARUHI BELAJAR SISWA KECERDASAN (Intelligence Quotient ) FAKTOR INTERNAL YANG MEMPENGARUHI BELAJAR SISWA  KECERDASAN (Intelligence Quotient ) Reviewed by adeardo on 11.24 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Gallery

ade ardo fittra. Gambar tema oleh Deejpilot. Diberdayakan oleh Blogger.