Otentisitas dan Aktualitas dalam Pemikiran al-Mestiri
Abstraksi
Upaya umat
Islam untuk keluar dari keterpurukan di kancah kebudayaan dan peradaban global kontemporer
masih bersifat sentimental, emosional, fragmentatif, dan reaksioner. Sehingga menyisakan
satu pertanyaan mendasar; apa sejatinya yang masih kurang dengan upaya-upaya
tersebut? Hal inilah yang menjadi fokus utama dari penelitian Mohamed
al-Mestiri. Dengan mengacu pada upaya pembasisan epistemologis dan aksiologis
yang terwakilkan dalam sebuah diktum ‘at-ta’shîl lâ yumkin illa mu`âshiran,’ al-Mestiri
menguraikan pelbagai persoalan mendasar yang sering kali luput dari pelbagai
usaha kebangkitan.Bagi al-Mestiri, fundamen dasar proses pembaharuan pemikiran
Islam kontemporer harus berpijak pada prinsip multi-komposisional dan multi-dimensional
(murakkabah wa muta`addidah at-takhashus), serta observasional/riset
(al-murâqabah al-mîdâniyyah), bukan dekomposisional, mono-dimensional. Prinsip
ini sekaligus menegaskan bahwa ijtihad harus dilakukan secara kolektif, bukan
individual.
Dalam realitas peradaban Islam kontemporer, keterpurukan
Islam pada aspek pemikiran, sosial, politik, hingga ekonomi, telah memantik
banyak pemikir Islam untuk meneliti sebab-sebab dan pelbagai solusi
pemecahannya. Pelbagai proyek kebangkitan diwacanakan, baik dengan memutus
total tradisi lalu beralih pada paradigma modernisme Barat, ataukah kembali
kepada nilai-nilai tradisi Islam perdana sebagai paradigma alternatif dan
orisinil. Dialektika antara dua perspektif inilah yang telah memunculkan pelbagai
spektrum pemikiran di ruang pewacanaan intelektual Islam kontemporer.
Wacana pemikiran Arabi-Islam dalam upaya keluar dari
keterpurukannya sendiri terejawantahkan ke dalam tiga tipologi dasar. Pertama,
sikap modernis (al-`ashrâniyyah) yang menjadikan capaian Barat
modern sebagai model paradigma peradaban masa kini dan masa depan peradaban Arab-Islam.
Kedua, sikap tradisionalis (salafiyyah) yang menganggap bahwa
capaian peradaban Arab-Islam perdana, sebelum terjadi—sebagaimana diasumsikan
mereka—pelbagai penyimpangan dan kemunduran, dianggap sebagai model paling relevan
dalam menghadapi dominasi modernitas Barat. Ketiga, sikap ekletis (intiqâiyyah)
yang berusaha mencari unsur-unsur terbaik dari paradigma Barat modern dan
capaian peradaban Arab-Islam klasik, kemudian memadukan keduanya dalam sebuah
paradigma baru.[1]
Terlepas dari sikap semacam apa yang tepat dalam setiap
proyek kebangkitan, namun sejatinya persoalan umat Islam lebih mendasar dari
sekedar polemik antara pengambilan sikap modernis, tradisionalis, maupun
ekletis.Sehingga upaya
umat Islam untuk keluar dari keterpurukannya di kancah kebudayaan dan peradaban
global ini menyisakan satu pertanyaan besar, apa sejatinya yang masih kurang dengan
upaya-upaya tersebut?Pertanyaan semacam inilah yang menjadi fokus utama dari
penelitian Mohamed al-Mestiri dalam buku yang berjudul Jadal at-Ta’shîl wa
al-Mu`âshirah fî al-Fikr al-Islâmi. Dengan mengacu pada upaya pembasisan
epistemologis dan aksiologis di kancah kebudayaan dan peradaban kontemporer, al-Mestiri
menguraikan pelbagai persoalan mendasar yang sering kali luput dari pelbagai
usaha kebangkitan.
Menurut al-Mestiri, berlarut-larutnya persoalan ini lebih
karenaupaya kebangkitan Islam belum ditopang oleh suatu cara pandang universal(ar-ru’yah
al-kuliyyah/world view) atas persoalan-persoalan umat Islam kontemporer.[2]Tidak
adanya ar-ru’yah al-kuliyyah ini disebabkan adanya kesalahan mendasar dalam memahami
warisan pemikiran dan kebudayaannya (at-turâts), serta kesalahan
memahami realitas kontemporer yang tengah dialami. Dampaknya,
solusi yang diketengahkan senantiasa bersifatsentimental, emosional,
fragmentatif, reaksioner, bahkan cenderung retroaktif.
II.
BiografiMuhammad
al-Mustiri[3]
Al-Mustiri yang bernama
lengkap Mahmod al-Mestiri merupakan pemikir Tunisia yang mengusung spirit
pembaharuan pemikiran Islam. Ia merupakan alumus Universitas Zaitunia-Tunisia,
kemudian melanjutkan studinya di Universitas Sorbone-Prancis dengan mengambil
kajian Filsafat Islam. Studi doktoralnya diselesaikan pada tahun 1994 dengan
menulis disertasi berjudul Nadzriyat al-Akhlâq baina al-Mutakallimîn wa
al-Falâsifah: Dirâsah Muqâranah. Saat ini, al-Mestiri merupakan pengajar aktif
di fakultas Ushuluddin, Universitas Zaitunia-Tunisia. Lain pada itu, ia juga aktif
di beberapa kegiatan, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Beberapa karya-karnyanya
antara lain:
§ Risâlah fî Ushûl ad-Dîn (2004)
§ Al-Mutsaqqaf wa al-Iltizâm (2009)
§ At-Ta`addudiyah wa al-I`tirâf bi Huqûq al-Aqalliyât(2008)
§ Islamophobia fî al-`Âlam al-Mu`âshir (2008)
§ Ahammiyat I`tibâr as-Siyâq fî al-Majâlât
at-Tasyrî`iyah wa Shillatuhu bi Salâmat al-`Amal bi al-Ahkâm (Antologi:
2008)
§ Kitâb al-`Ûmmah fî al-Qurn (Antologi:
2007)
§ Al-Quwiah wa al-Kauniah fî al-Fikr al-Islâmi
al-Mu`âshir (Antologi: 2007)
§ Al-Fikr al-Islâmi wa al-Hadâtsi: Nadzrât Mutaqâti`ah (Antologi:
2005)
§ Al-Muslimûn baina asy-Syarî`ah wa al-Qânûn (Antologi:
2005)
§ Harâkiyah al-Hiwâr ad-Dîni fî al-Qurn 21 (Antologi:
2004)
§ Al-Khalq wa al-Ibdâ` (Antologi:
2003)
§ Al-Bu`d al-Hadlâri li Hijrah al-Kafâ’ât (Antologi:
2002)
III.
Dinamika
Pemikiran Islam Kontemporer
Mengapa umat Islam tertinggal,
sedangkan bangsa lainnya(Barat) maju/beradab? Kegamangan ini seolah menjadi pertanyaan abadi
dalam menggambarkan realitas umat Islam kontemporer. Pemikir-pemikir Islam
tengah dihadapkan pada tantangan untuk mengatasi situasi keterpurukan yang
sudah sedemikian mengerak lama. Salah satu pemikir Islam yang menaruh perhatian
pada persoalan ini adalah al-Mestiri.
Nahdlat al-fikr li
nahdlat al-hadlârah (kebangkitan
pemikiran merupakan pra-syarat utama bagi kebangkitan peradaban).[4] Demikianlah ia menegaskan
pentingnya rasionalitas dalam menopang kebangkitan suatu peradaban. Namun sebelum
masuk pada pemikiran al-Mustiri terkait upaya ontentifikasi (ta’tshîl) pemikiran
kontemporer, harus dipahami terlebih dahulu bahwa kesadaran Islam dikonstruksi
oleh cara pandang yang bersifat sentripetal
(centripete), yaitu peradaban yang bergerak
menuju sumbu/pusat.Tak ayal,
masyarakat muslim merepresentasikan peradaban yang berkesadaran al-Nash.[5]Hal ini sangat berbeda dengan kesadaran Eropa (Barat)
yang lebih bersifat sentrifugal(centrifuge), yaitu peradaban yang bergerak
menjauhi sumbu/pusat.[6]
Dalam konteks kesadaran Islam,
peradaban yang bersifat sentripetal ini dipicu oleh—meminjam analisa Fazlur
Rahman—posisi al-Qur’an sebagai poros paradigmatik bagi setiap pengetahuan yang
muncul dan diserap dari ajaran Islam. Keterlibatan
al-Qur’an dalam konstruksi wacana doktrinal Islam, baik dalam aspek keyakinan
agama maupun pranata dan etika sosial, menjadikan peradaban Islam tidak pernah
benar-benar mengkonstruksi teori filosofis murni (pure theory).[7]
Sedangkan dalam konteks kesadaran Eropa, proses
formasinya mendahului struktur. Oleh karena itu, setiap upaya identifikasi
kesadaran Eropa dilakukan untuk membuktikan kemandirian struktur kesadaran dari
sejarah partikularnya.[8]
Sedemikian pentingnya
sumber otoritatif keagamaan dalam peradaban Islam inilah yang sedari awal
disadari al-Mestiri. Sehingga upayanyamenemukan ar-ru’yah
al-kuliyyah tidak
serta-merta dilepaskan dari basis a priori tersebut, melainkan dijadikan
titik tolak sekaligus akhir dari proyek kebangkitan, baik pada tataran
epistemologis maupun aksiologis. Dijelaskannya:
Yang dimaksud dengan ar-ru’tah al-kulliyah adalah
cara pandang yang didasarkan suatu basis pengetahuan (al-ushûl
al-ma`rifiyyah) dan basis moral/nilai (al-ushûl al-akhlâqiyyah) yang
membedakannya dari cara pandang yang tengah mendominasi dunia kontemporer kita.
Hal ini juga menjadi prototypeacuan filosofis dan etis bagi masyarakat
kontemporer yang memperbaharui pemaknaan martabat manusia serta pemahaman
nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab yang menopang realitas
sosialnya. Ketika pemikiran Islam menyingkirkan basis epistemologis yang
bersifat universal, maka sejatinya pemikiran Islam tengah dipalingkan dari
aspek humanis yang membedakannyadari yang lain, sekaligus menjadi syarat yang
memungkinkannya menjadi masyarakat beradab, dan merengkuh suatu peradaban.[9]
Upaya al-Mestiri dalam menemukan
ar-ru’yah al-kuliyyah bagi kebangkitan Islamdidasarkanpada dua kata
kunci yang beroprasi secara dialektis, yaitu at-ta`shîl (otentifikasi)
dan al-mu`âshirah (kontemporer/aktualitas). Pemaknaan otentifikasi dalam
pemikiran al-Mestiri sendiri merupakan kerja peradaban yang dinamis dalam upaya
memahami situasi aktual beserta persoalan-persoalan yang melingkupinya.Hal ini
tercermin dalam sebuah diktum ikoniknya, bahwa at-ta’shîl lâ yumkin illa
mu`âshiran(otentifikasi hanya mungkin dilakukan—bila dipahami—dalam
aktualitasnya).[10]
Ungkapan tersebut menegaskan
bahwa ontentifikasi al-Mestiri bukanlah cara pandang retrospektif (mâdlawiyyah);yaitu
dengan menghidupkan kembali capaian kebudayaan dan peradaban Islamdi masa lalu
di kancah peradaban kontemporer, bahkan melakukan upaya-upaya sakralisasi (taqdîsiyyah)ataupun
rasionalisasi (`aqlaniyah al-mâdli)atasnya. Wacana otentifikasi
al-Mestiri lebih merepresentasikan upaya reformatif(al-ishlâhi) wacana
keagamaan;dengan menjadikan situasi aktual (aktualitas/kontemporalitas) umat
Islamsebagai acuan dasar untuk menemukan suatu basis universalyang selaras
dengan spirit masanya.
Sebagai seorang pemikir
reformis,al-Mestiri melihat adanya kesalahan mendasar yang terjadi dalam
melihat persoalan umat Islam. Salah satunya direpresentasikan oleh—misalnya—kalangan
fundamentalis yang mengusung jargon ‘jâhiliah al-qurn al-`isyrîn’(kedunguan
abad ke-20). Mereka gagal membedakan antara Islam sebagai sebuah basis
doktrinal, dengan khazanah wacana keislaman (at-turâts al-Islâmi)sebagai
proses kreatif atau ijtihad umat Islam di penanda masa kesejarahan tertentu. Terjadi
kekaburan mendasar dan ketumpang-tindihan antara agama dan pemahaman keagamaan.
Hal ini berdampak pada cara pandang yang cenderung fragmentatif (juziyyah-tajzîiyyah)
karena tidak mampu menemukan suatu cara pandang yang menyeluruh atas
pelbagai dimensi persoalan umat Islam kontemporer.[11]Persoalan-persoalan semacam inilah
yang berusaha diuraikan al-Mestiri melalui buku Jadal at-Ta’shîl wa
al-Mu`âshirah.
IV.
Otentifikasi
Nilai Islam di Kancah Global
Sebagai upaya penanaman paradigma komunal, globalisasi justru memicu euforia
kemunculan narasi-narasi kecil peradaban maupun keagamaan yang telah merubah
konfigurasi sosial sedemikian radikal.Realitas global yang diandaikan tengah memaksa terbentuknya homogensi peradaban manusia, justru menjadi situasi
yang ditandai oleh semakin terafirmasi dan tersosialisasinya pluralitas ekspresi
kehidupan dan orientasi nilai. Konsekuensinya, pemahaman seseorang atas dunia tidak lagi memadai jika
diandaikan sebagai narasi besar, melainkan lebih sebatas narasi kecil yang
turut terlibat di kancah kebudayaan global.
Kondisi ini meniscayakan munculnya persoalan kemanusiaan
yang semakin kompleks, karena dipicu oleh keragaman variabel-variabel
pengalaman, motif, serta kepentingan sosial yang semakin beragam. Perubahan konfigurasi masyarakat global dan
pranata-pranata sosial yang menopangnyaturut pula mempengaruhi realitas dan
kesadaran umat Islam kontemporer. Perubahan inilah yang disadari sedari awal
proyek kebangkitan Islam al-Mestiri, baik dalam kerangka identifikasi persoalan-persoalan
yang dihadapi umat Islam, maupun visi-visi reformisnya.
Salah satu persoalan yang
mendapat perhatian al-Mustiri adalah polemik seputar spesialisasi keilmuan yang
tengah menjadi perbincangan intens di ruang akademik. Hal ini dikukuhkan oleh
fakta mendasar bahwa,semakin kompleknya fenomena sosial di tengah perubahan
besar konfigurasi politik dan ekonomi, spesialisasi keilmuan hanya akanmemunculkan
cara pandang eksklusif dan fragmentatif dalam memahami suatu persoalan yang
terjadi, seperti halnya persoalan dalam realitas sosial masyarakat Barat modern.Dicontohkan
al-Mestiri, modernisme Barat yang diiring sekularime dan kapitalisme, telah
menjauhkan nilai-nilai keadilan sosial, moralitas,serta basis keagamaan dari
ruang publik.[12]
Dampak sekularisme sendiri
sangatlah signifikan terhadap konfigurasi sosial dan paradigmamasyarakat Barat
modern, khususnya sejak masa Pencerahan (Enlightenment), atau saat ini
dikenal sebagai abad Auflärung. Berawal dari menggeliatnya upanya-upaya
sekularisasi, yaitu pemisahan antara institusi negara dari gereja, Abad
Pencerahan menandai semakin terkikisnya kekuasaan gereja dalam fungsinya
sebagai otoritas pengetahuan dan kebudayaan masyarakat.[13]
Abad Pencerahan merupakan patahan sejarah peradaban Barat yang
merepresentasikan usaha-usaha liberasi manusia dari kungkungan gereja dan
menegakan kedaulatannya atas alam dan masyarakat. Padahal sebelumnya,
pengetahuan dan kebebasan manusia sama sekali tidak terafirmasi secara penuh,
tersubordinasikan di bawah institusi gereja.
Trauma masyarakat Barat dengan
institusi gereja telah memicu kemunculan gerakan humanisme yang ditandai dengan
usaha melepaskan diri dari paham tradisional bahwa manusia hanya bisa dipahami
dalam konteks tatanan ilahi dan iman. Gerakan ini mengarah pada proyek
pembangunan kehidupan manusia dan masyarakat menurut tatanan dan aturan akal
budi (reason).[14]
Respon atas hegemoni gereja ini kemudian menjadi genealogi sekularisme Barat
yang berusaha mengafirmasi kebebasan kreatif manusia sebagai individu yang
merdeka dan otonom. Lalu pada ranah yang lebih luas, melakukan privatisasi
agama dengan cara menyingkirkannya dari ruang publik.[15]
Namun demikian, modernisme
di kancah peradaban Barat yang telah melahirkan sekulersime dan kapitalisme,
justrumeninggalkan persoalan-persoalan baru, khususnya terkait hilangnya basis
nilai, dehumanisasi, serta raibnya keadilan sosial.Persoalan ini telah
memunculkan fenomena baru terkait kembalinya wacana keagamaaan dalam upaya
memperbaiki konfigurasi sosial yang telah tercerabut dari nilai-nilai
kemanusiaan dan moralitasnya. Fenomena aktual yang terjadi di dalam realitas
masyarakat Barat ini, menurut al-Muestiri,merupakan situasi postmodern[16]yang
merepresentasikan upaya penggalian kembali nilai-nilai moral yang menggeliat dalam
pemikiran Barat, serta relasinya dengan martabat manusia dan keadilan sosial.[17]
Bagi al-Mestiri, saat
pemikiran Barat tengah melakukan kritik diri terhadap non-integrasi keilmuan
yang telah melahirkan kecenderungan positivistik dalam memahami realitas
sosial-kemanusiaan, serta ditengarai menjadi akar persoalan raibnya nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan sosial, integralisme (ar-ru’yah at-takâmuliyah) justru
telah menjadi spirit dasar peradaban Islam sejak lama.Hal ini tercermin dalam
diri, misalnya, Ibn Rusyd yang selain sebagai seorang faqîh juga seorang
filsuf, atau Ibn Taymiyah yang selain seorang pakar hukum juga ahli hadits.[18]Spirit
integralisasi semacam inilah yang tengah diangkat kembali al-Mestiri melalui
wacana pembaharuan basis pengetahuan Islam.
Dalam pemetaan
al-Mestiri, terdapat empat persoalan mendasar yang harus disadari dalam upaya
pembaharuan tersebut, yaitu (a) persoalan basis nilai, (b) visi peradaban,(c) strategi
pengetahuan, serta (d) pembaharuan fundamen dasar pemikiran Islam. Tanpa
menyadarinya, wacana pembaharuan terancam oleh pelbagai rintangan internal yang
cenderung menawarkan solusi-solusi yang utopis, nostalgik, dan retrospektif.
Hal ini tercermin dalam wacana-wacana yang berkembang dalam pemikiran Islam,
seperti formalisasi syari`ah klasik, hegemoni ijtihad personal, khayalan
khilafah, nalar sektarian, dan pelbagai isu-isu lain yang sejatinya tidak
substansial dan tidak produktif, bahkan malah destruktif.
a.
Persoalan
Basis Nilai
Tauhid merupakan basis a
priori atas nilai universal dan poros paradigmatik bagi visi peradaban
Islam.Para teolog maupun filsuf Islam klasik sangat menaruh perhatian besar
terhadap tauhid dan turut mengkarakterisasi peradaban Islam. Pemahaman tentang
ke-Esa-an Tuhan senantiasa dijadikan sumber inspirasi masyarakat muslimdalam
memproyeksikan kreatifitas manusia,tanggung jawab sosial, serta nilai humanitas
di dalamnya. Sehingga nilai-nilai transendental yang terkandung dalam tauhid
bukan semata bertautan dengan proses pembersihan spiritualitas umat Islam
belaka, melainkan acuan filosofis serta basis nilai umat Islam dalam memahami fitrah
manusia beserta realitas empiris yang melingkupinya.[19]
Dalam pemaknaan lain, menghadirkan nilai tauhid yang berdaya sosial dan
berperspektif kemanusiaan.
Hanya saja, terlalu
kukuhnya nalar prosedural (al-`aql al-ijrâ’i) dan maupun nalar
legal-formal (al-`aql al-iftâ’i)dalam mengurai persoalan-persoalan kemanusiaan
aktual yang tengah dihadapi, justru telah mengalienasi nilai-nilai universal
dan spirit dinamika peradaban yang secara esensial terkandung dalam tauhid
Islam. Padahal aspek tauhid, menurut al-Mestiri, merupakan basis nilai yang
menopang darya kreatifitas dan kemampuan umat Islam untuk menjadi masyarakat
yang berperadaban secara dinamis (at-tahadldlur nahwa al-hadlârah) dalam
pelbagai aspeknya.
Persoalan ini menjadi
semakin rumit oleh polemik internal pemikiran Islam antar disiplin keilmuan yang
berlarut-larut di ruang pewacanaannya. Perjumpaan antara fuqahâ, filsuf,
dan teolog dipahami dalam relasi yang bersifat konfliktual dan silih menegasi
satu-sama lain. Sehingga upaya refomasi keagamaan cenderung lebih banyak
berkutat pada persoalan ideologi dan politik-kekuasaan, bukan metodologis; dan
oleh karena itu, polemik yang terjadi lebih bersifat doktrinal, bukan
epistemologis. Hal ini tercermin dari, missalnya,gerakan pembaharuan yang
diusung Muhammad ibn `Abd al-Wahab sejak abad ke-19. Dampak praksisnya, wacana
reformasi keagamaan lebih banyak berkaitan dengan upaya formalisasi hukum klasik
dalam realitas sosial kontemporeryang sejatinya telah menalami perubahan
konfigurasi secara radikal, daripada upaya pendasaran hukum pada basis
epistemologi maupun acuan-acuan nilai etis yang berkembang sesuai dengan
perkembanan pengetahuan dan kesadaran masanya.
Menurut al-Mestiri, cara
umat Islam memahami situasi aktualnya cenderung retrospektif ataupun nostalgik,
karena selama ini basis epistemologi Islam cenderung didasarkan pada mitologi
dan folklor (legenda rakyat). Hal ini berdampak pada cara berfikir umat Islam
yang cenderung statis dan tidak memiliki daya kreatif dan visi perkembangan
peradaban. Bahkan upaya reformasi nalar keagamaan telah tersempitkan sebatas
proses Islamisasi; dengan hanya menyematkan istilah Islam dalam setiap capaian
pengetahuan manusia. Persoalan ini tentu meniscayakan perlunya suatu
pembaharuan mendasarpada tataran epistemologi pengetahuan Islam di kancah
peradaban dan kebudayaan kontemporer.[20]
b.
Persoalan
Visi Peradaban Islam
Peradaban tidak bisa hanya diartikan sebagai kata benda(al-hadlârah),
melainkan juga sebagai sebuah kata kerja(at-tahadldlur); sebagai kerja
peradabanyang bergerak secara dialektis dan dinamis, baik dalam kerangka proses
akulturasi, enkulturasi, penolakan, maupun pengubahan.Dengan memahami peradaban
sebagai kata kerja, maka peradaban bukan hanya dihubungkan dengan capaian-capaian
yang bersifat material belaka, melainkan juga meliputi nilai-nilai yang diperas
dari pengalaman manusia serta proses pengembangan/pembudayaan di dalamnya.Pada
puncaknya, proses ini membentuk suatu visi peradaban yang kontekstual dan futuristik.
Itulah sebabnya mengapa peradaban merupakan cerita tentang perubahan-perubahan;
riwayat manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kehidupan yang
sudah ada.
Mengacu pada penelitian al-Jabiri, sejarah
peradaban menegaskan bahwa hanya peradaban Arab-Islam, Yunani klasik, dan Eropa
modern yang memiliki kapasitas berfikir teoritis dan rasional dalam
mengembangkan pengetahuan objektif, ilmiah, dan filosofis. Mekanisme nalar yang
berkembang pada ketiga peradaban tersebut tidak hanya memiliki kemampuan untuk
memproduksi ilmu menggunakan kemampuan akalnya (al-tafkîr bi al-`aql), tapi
juga mampu menghasilkan teori-teori epistemologi pengetahuan, atau diistilahkan
dengan berfikir tentang akal (al-tafkîr fî al-`aql).[21]
Dalam prosesnya, baik
peradaban Islam maupun Eropa modern banyak bersinggungan dengan capaian-capaian
peradaban Yunani. Menurut Hassan
Hanafi, selama ini peradaban Yunani dipelajari dalam dua cara, yaitu: (1) al-Tasyakkul
al-jauhari (formasi substansial). (2) al-Tasyakkul al-dzâhiri (formasi
suferfisial). Model pertama, dipraktekan Eropa dalam membangun peradabannya,
dengan mengambil forma dan substansi sekaligus. Mengingat cara Eropa
mereplikasi peradaban Yunani mengambil dua aspek yang merepresentasikan
kebudayaannya, peradaban Eropa mengorbankan originalitasnya tergilas hancur.
Hal ini berbeda dengan Islam yang hanya meminjam forma kebudayaan Yunani dalam
upaya mengembangkan peradaban Islam, tanpa mengorbankan originalitas
substansialnya.[22]Hal inilah yang menjadi
visi peradaban Islam sejak awal.
Persoalannya, visi
peradaban yang selama ini berkembang di ruang pewacanaan Islam kontemporer,
khususnya melalui upaya reformasi agama, cenderung mengarah pada
gerakan-gerakan yang bersifat politik-kekuasaan belaka. Upaya reformasi
keagamaan sama-sekali tidak memberi perhatian serius pada aspek pengembangan
pendidikan dan pemikiran umat Islam, sebagaimana tercermin dalam kerja
peradaban Islam di masa keemasannya. Lain pada itu, wacana reformasi agama juga
cenderung mengabaikan perubahan realitas sosial dan konfigurasi masyarakat
kontemporer yang sudah sedemikian radikal.
Terlalu mengakarnya
nalar politik praktis dalam wacana kebangkitan ini sering kali menjadikan visi
peradaban terjebak dalam dalam cita-cita utopis maupun visi-visi nostalgik era
keemasan peradaban Islam klasik. Sehingga visi peradaban yang tengah dikembangkan
tidak memiliki strategi perubahan yang memadai, serta tidak ditopang oleh basis
epistemologi pengetahuan yang kukuh. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan umat
Islam memahami esensi persoalan aktual dan mengkreasikan pelbagai solusi kreatif
untuk menyelesaikannya.
Fakta ini menegaskan
satu kenyataan mendasar bahwa wacana pemikiran Islam kontemporer masih belum
mencatatkan kemajuan secara berarti dalam menjawab pelbagai tantangan dan
problematika kontemporer. Salah satu persoalannya ditengarai karena wacana
pemikiran tersebut belum memiliki visi kebangkitan yang mendasar dan
menyeluruh, sehingga senantiasa gagal memahami realitas aktual. Padahal visi
peradaban (ar-ru’yah al-hadlâriah) sangatlah penting dalam menopang
proyek kebangkitan. Dalam rentang sejarah kebudayaan manusia, cara pandang
visioner dan daya kreatifitas manusialah yang senantiasa menjadi fondasi dasar
setiap peradaban maju.
Dalam perspektif
al-Mestiri, ar-ru’yah al-hadlâriah merepresentasikan kemampuan visioner
suatu bangsa dalam melihat dan memahami kemaslahatan bersama umat Islam, baik
terkait realitas aktual maupun cita-cita masa depan peradabannya. Prinsip
kemaslahatan bersama inilah yang sejatinya menjadi acuan dasar bagi setiap
rumusan fikih legal-formal yang mengikat umat Islam secara internal, maupun etika
universal bagi seluruh umat manusia yang dirumuskan secara kolektif (al-ijtihâd
al-jamâ`i). Dalam arti lain, ar-ru’yah al-hadlâriah dalam pemikiran
al-Mestiri merupakan upaya otentifikasi aspek kemanusiaan dalam wacana
pemikiran Islam kontemporer.[23]Pada
titik ini, al-Mestiri memandang pentingnya umat Islamkeluar dari dikotomi
mukmin-kafir ataupun kesadaran politik-sektarian, lalu berpijak pada prinsip humanisme
universal (al-insâniah al`âmah). Karena walaupun wacana fikih ataupun
aspek-aspek ritual-keagamaan merupakan prinsip dasar risalah Muhammad saw,
namun pengetahuan secara umum merupakan cara manusia merawat cita-cita peradabannya.
Selain terlalu
dominannya aspek politik-kekuasaan yang bersifat sektarian dalam wacana
kebangkitan Islam, keterpurukan umat Islam juga disebabkan oleh kecenderungan fatalistik.Kecenderungan
ini telah membentuk karakter pesimistis umat Islam dalam menghadapi realitas
aktual berikut persoalan yang melingkupinya.Karakter pesimistis juga telah
membentuk pola pikir defensif saat dihadapkan pada perubahan-perubahan realitas
politik dan sosial kontemporer. Persoalan-persoalan seperti kolonialisme dan imperialisme
yang tengah menimpa kemanusiaan, sering kali dihadapi dengan cara-cara yang emosional-subjektif dan ideologis, bukan rasional kritis-objektif.[24]Mengacu pada persoalan-persoalan
internal pemikiran Islam semacam ini, al-Mestiri melihat pentingnya suatu upaya
pembaharuan dalam wacana pemikiran Islam.
Namun al-Mestiri
memperingatkan bahwa setiap peradaban tidak pernah berpijak pada capaian
pengetahuan yang benar-benar baru.Dalam arti, peradaban merupakan proses yang
bersifat kontinu, sehingga proses menjadi manusia berperadaban senantiasa
berpijak pada capaian-capaian pemikiran dan pengetahuan manusia di suatu
babakan sejarah tertentu yang berkembang sebelumnya.Renaissance yang
menjadi titik tolak pembasisan nalar Eropa modern, misalnya, sangat terpengaruh
oleh capaian-capain peradaban Islam abad pertengahan.Maka menjadi kesalahan
tersendiri dalam internal pemikiran Islam kontemporer jika menyerukan
pentingnya pembaharuan, namun dengan cara mengabaikan atau melepaskan diri dari
capaian pengetahuan modern.[25]
Pemahaman al-Mestiri atas
visi peradaban semacam ini menegaskan bahwa upaya otentifikasi yang
diwacanakannya mengandaikan satu bentuk komunikasi dialektis antara Islam
sebagai basis nilai dan kesadaran, dengan capaian pengetahuan Barat modern. Dengan
demikian, otentifikasi dalam perspektif al-Mestiri bukan upaya memproyeksikan
atau mengangkat kembali pelbagai wacana turâts klasik di kancah
kebudayaan kontemporer(`ashranah al-khithâb at-turâtsi), melainkan
proses kreatif umat Islam untuk menemukan satu paradigmabaru Islam kontemporer
dalam memahami nilai-nilai kemanusiaan yang berpinsipkan keadilan sosialdan sesuai
dengan capaian pengetahuan dan spirit peradaban masanya.
c.
Persoalan
Strategi Pengetahuan Islam
Dalam proses menjadi manusia
berperadaban tentu memerlukan strategi pengetahuan yang tepat, bukan
membiarkannya menggelinding tak terrencana.Urgensitas strategi pengetahuan ini
telah dicontohkan dalam proses pembumian nilai-nilai al-Qur’an di awal
perkembanannya. Respon al-Qur’an terhadap
pranata-pranata sosial dan kebudayaan Arab jahiliah mengunakan—sekurangnya—tiga
strategi mendasar. (1) Tahmîl (adoptive-complement), yang berarti
penerimaan atau pembiaran berlakunya sebuah tradisi. (2) Tahrîm
(destuctive), yang berarti penolakan atas berlakunya sebuah tradisi. (3) Taghyîr
(adoptive-reconstructive), yaitu penerimaan sebuah tradisi masyarakat
setelah dilakukan modifikasi tertentu, sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam al-Qur’an.[26]
Persoalan pentingnya
umat Islam memiliki strategi pengetahuan dalam upaya melepaskan diri dari
keterpurukannya di kancah kebudayaan dan peradaban kontemporer ini sangat
disadari oleh al-Mestiri.Dijelaskannya,reformasi pemikiran Islam kontemporer harus
ditopang oleh pemahaman mendalam terhadap perubahan realitas sosial, beserta
prioritas dan tahapan-tahapan yang terjadi di dalamnya. Hanya saja bagi
al-Mestiri, upaya kebangkitan peradaban Islam selama ini tidak memiliki
strategi dan perencanaan yang memadai.Dampaknya, persoalan-persoalanaktual,
seperti regulasi hijab, hudûd,sekulersime, terorisme, dan pelbagai
isu-isu lainnya yang dihadapi umat Islam,cenderung disikapi menggunakan pola
pikir defensif, sentimental, emosional, dan reaksioner.Padahal
menurut al-Mestiri, berpolemik terlalu dalam di seputar itu hanyalah polemik artifisial,
bukan substansial, bahkan cenderung sarat bias-bias ekonomi-potitik global, sehingga
tidak berdampak mendasar pada upaya kebangkitan Islam.[27]
Bagi al-Mestiri, maksud strategi pengetahuan di sini bukanlah
instrumentalisasi agama atau sebatas lobi-lobi politik untuk mengukuhkan
identitas Islaman sich, melainkan perspektif kebaikan bersama dengan berbasiskan
kemaslahatan dan kemanusiaan universal yang berjuang untuk menjadi menjadi
masyarakat yang beradab yang melibatkan seluruh pengalamanumat manusia.[28]Kemuliaan manusia [al-Isra’: 70],[29]
keniscayaan untuk saling mengenal satu-sama lain [al-Hujarat: 13],[30]
sekaligus keniscayaan adanya perbedaan-perbedaan di antara manusia [Huud: 118],[31]
merupakan pengukuhan intensi dasar Islam terhadap kemanusiaan universal,
sekaligus menegaskan visi rahmatan li al-`âlamîn (rahmat bagi semesta). Perjumpaan
antara kemanusiaan dan keislaman ini menegaskan bahwa ukhuwwah basyariyyah
merupakan strategi dasar di tengah realitas global dan multikultural.
Strategi ini penting dimiliki
dalam kesadaran umat Islam untuk menemukan konsensus
minimal dalam pergaulan dunia, sekaligus proteksi
manusia dari pengalaman-pengalaman negatif dan keterancaman bersama, seperti
kemiskinan, kebodohan, pengangguran, penjajahan, dan prostitusi, human
trafficking, dan ironi-ironi penindasan kemanusiaan lainnya. Dengan
demikian, penekanan prinsip ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan umat
manusia) dan keadilanmerupakan strategi dasar yang harus diprioritaskandalam
konteks masyarakat global, melampaui batas-batas regional rasial, kultural,
hingga agama.
Untuk menopang wujud praksis
dari kemanusiaan yang berkeadilan dan berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan
universal(ukhuwwah basyariyyah),al-Mestiri menekankan pentingnya umat
Islam memiliki basis epistemologi yang bersifat kolektif (al-ma`rifah
al-musytarakah), serta skala prioritas dalam pengembangannya. Hal ini
penting untuk menghindari pola pikir yang bersifat sektarian dan rasialis.[32]Dalam arti lain, walaupun keragaman
basis moral-kultural dan agama merupakan fakta-fakta kongkrit yang sulit
dipertautkan antara satu dengan lainnya, seperti tauhid yang menjadi basis
nilai khas dalam konteks masyarakat muslim yang terrumuskan dalam konsep ukhuwwah
islâmiyyah (persaudaraan umat muslim), namun bukan berarti spirit
kemanusiaan universal tidak memiliki strategi-strategi kreatif yang mampu
menemukan satu gambaran kemanusiaan bersama.
d.
Persoalan
Pembaharuan Fundamen DasarPemikiran Islam
Di tengah perubahan realitas
sosial dan konfigurasi masyarakat kontemporer yang sudah sedemikian radikal,
al-Mestiri menekankan pentingnya pembaharuan fundamen dasar pemikiran Islam;
yaitu dengan kajian kritis terhadap acuan-acuan metodis serta restrukturasi
sosial-kemasyarakatan. Sehingga spirit peradaban yang disuarakan umat Islam
tidak sebatas retorika-retorika keagamaan yang emosional dan cenderung mengarah
pada upaya-upaya mitologisasi dan sakralisasi agama. Hal ini pada akhirnya
hanya membawa spirit peradaban pada sebuah cara pandang dikotomis, misalnya,
antara agama dan negara, antara muslim dan kafir, antara ilmu Islam dan
non-Islam, dan pelbagai cara pandang dikotomis lainnya.
Upaya-upaya pembaharuan
fundamen dasar pemikiran Islam telah banyak dilakukan, sebagaimana upaya pembaharuan
wacana ushûl fiqh dan maqâshid syarî`ah yang dianggap sebagai
pengantar metodologis bagi pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Namun bagi
al-Mestiri, hal tersebut hanyalah tuntutan minimal dalam upaya pembaharuan di
tengah kesadaran umat Islam yang masih berorientasi pada aspek legal-formal dan
nalar prosedural.
Terlalu kukuhnya nalar
legal-formal dan nalar prosedural dalam kesadaran umat Islam malah menghadirkan
cara pandang pembaharuan pemikiran Islam yang cenderung pragmatis, bukan
strategis. Jargon-jargon semisal Khilafah Islamiah, Islam adalah Solusi,
Hukum Tuhan, telah melupakan aspek mendasar terkait bagaimana menjadi
manusia yang berperadaban. Dampaknya, gambaran manusia
direduksi sedemikian rupa ke dalam realitas umat muslim belaka, kemudian
dilepaskan dari pertautannya dengan praktik sosial dan moralitas yang tengah
berkembang di kancah pemikiran kontemporer yang multi-kultural dan
multi-religius.[33]Cara berfikir prosedural ini kemudian merepresentasikan ‘rasio
instrumental’, atau sebagai ‘pemikiran identitas’ yang tengah terjadi dalam
pemikiran Islam kontemporer.
Dijelaskan al-Mestiri,pembaharuan
pemikiran Islam haruslah terjadi dari dalam peradaban yang tengah berkembang,
bukan dari luar; yaitu dengan memanfaatkan capaian-capaian pengetahuan manusia
sepanjang sejarah peradabannya. Hal ini dikukuhkan oleh kenyataan bahwa
realitas pengetahuan umat Islam tengah berada dalam situasi antara kekayaan
khazanah turâts dan akumulasi pengetahuan modern yang diperas dari pengalamanumat
manusia kontemporer. Maka sebagaimana prinsip at-ta’shîl lâ yumkin illa
mu`âshiran,fundamen dasar proses pembaharuan pemikiran Islam kontemporer menurut
al-Mestiri harus berpijak pada prinsip komposisional dan multi-dimensional (murakkabah
wa muta`addidah at-takhashus),serta observasional/riset(al-murâqabah
al-mîdâniyyah), bukan dekomposisional, mono-dimensional.Prinsip ini
sekaligus menegaskan bahwa ijtihad harus dilakukan secara kolektif, bukan
individual.[34]
V.
Epilog:
Harmonisasi dalam Pembaharuan Pemikiran Islam
Perkembangan wacana
pemikiran manusia senantiasa dikonstruksi lewat sebuah perjumpaan kreatifatau harmonisasi
(at-taufîqiyyah). Dalam konteks pemikiran Islam, perjumpaan kreatif atau
harmonisasi tersebut terjalin antara akal dan wahyu.Hal ini merupakan
karakteristik khas dari Islam itu sendiri yang melibatkan realitas
transendental dalam memahami dunianya. Hanya saja, umat Islam tengah kehilangan
visi dan pembacaan objektif terhadap fondasi dasar keberagamaannya. Iman sering
kali ditampilkan dalam wajah yang emosional, bahkan mungkin
yang tersisa dari pemahaman keagamaan hanyalah bingar-bingar sengkarut-sengketa
[t]uhan di ruang ilusifyang memicu cara keberagamaan secara marah.
Menggunakan spirit harmonisasi semacam ini, al-Mestiri
sendiri berupaya mengembalikan spirit dan nilai tauhid yang berdaya sosial dan berperspektif
kemaslahatan dan kemanusiaan.Karena pada prinsipnya, Islam menyediakan dasar-dasar bagi praksis pemuliaan
manusia, namun di sisi lain dasar-dasar tersebut disempitkan sedemikian rupa
sehingga malah menciptakan kondisi dehumanisasi tauhid Islam itu sendiri. Untuk
itu, perlu adanya tilikan-tilikan baru yang mampu mengafirmasi kamanusiaan di
dunia kontemporer dan dalam realitas masyarakat global.[35]
Daftar Pustaka
Abu
Zaid, Nasr Hamid.Mafhum an-Nash: Dirâsah fi ‘Ulum al-Qur’an,cet, ke-6,
Beirut: al-Markaz ats-Tsaqafi, 2005.
al-Jabiri,
Muhammad Abed.Isykâliyât al-Fikr al-`Arabi al-Mu`âshir, cet. ke-6,
(Markaz Dirasat al-Wahdah al-`Arabiah: Beirut), 2010.
_______________________,
Takwîn al-`Aql al-`Arabiy, cet. ke-10,Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah
al-`Arabiah, 2009.
al-Mestiri,
Mohamed.Jadal at-Ta’tshîl wa al-Mu`âshirah fî al-Fikr
al-Islâmi, cet. ke-1, (Tunis: Mansyurat Karim asy-Syarif),
2014.
Hanafi,
Hassan.Oksidentalisme, terj. M. Najib Buchori, cet. ke-1, (Jakarta:
Paramadina), 2000.
McLeod, Hugh.Secularization in Western
Europa, cet. ke-1, London: Macmillan Press, 2000.
Rahman,
Fazlur.Islam, cet. ke-2, (USA: The University of Chicago Press) 1979.
Sodiqin, Ali.Antropologi
al-Qur’an, cet. ke-2, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Turner,Bryan. “Religion in
Post-Secular Society”,dalam Bryan S. Turner (ed.), The Sociology of Religion,
cet. ke-1, UK: Wiley-Blackwel, 2010.
[1] Menurut al-Jabiri, kemunculan tiga model paradigma intelektual Arab
ini merupakan dampak langsung perseteruan ideologis antara fundamentalisme
dengan modernisme, liberalisme dengan sosialisme, hingga regionalisme dengan
nasionalisme, yang berusaha mengukuhkan diri di tengah arus modernitas.
Muhammad Abed al-Jabiri, Isykâliyât al-Fikr al-`Arabi al-Mu`âshir, cet.
VI, (Markaz Dirasat al-Wahdah al-`Arabiah: Beirut, 2010), hlm. 15-17
[2]Mohamed al-Mestiri, Jadal at-Ta’tshîl wa al-Mu`âshirah fî al-Fikr al-Islâmi, cet. I, (Tunis: Mansyurat Karim
asy-Syarif, 2014), hlm. 11
[3]Ibid.,hlm. 269-270
[4]Ibid.,hlm.
13
[5] Berbeda dengan peradaban Yunani yang dicirikan sebagai peradaban
akal, ataupun Mesir kuno sebagai ‘peradaban setelah kemtian’ (hadlârah mâ
ba`da al-maut), keterikatan peradaban Islam dengan nashal-Qur’an
menjadikannya dicirikan sebagi peradaban Teks (hadlârah al-nash). Nasr
Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash: Dirâsah fi ‘Ulum al-Qur’an,cet, VI, (Beirut:
al-Markaz ats-Tsaqafi, 2005), hlm. 24-25
[6] Peradaban centripete (sentripetal) adalah peradaban yang
bergerak menuju pusat atau sumbu. Dalam arti, ilmu-ilmu yang dihasilkan
peradaban sentripetal senantiasa berputar mengelilingi satu poros. Dengan
demikian, ego mewakili pusat dan berinovasi dalam kapasitas tersebut.
Sedangkan peradaban centrifuge (sentrifugal) adalah peradaban yang
menjauhi pusat, setelah diketahui kelemahan-kelemahannya dan setelah tumbangnya
ilmu-ilmu yang dihasilkan akibat ketidakmampuannya menghadapi kritik akal dan
kekuatan eksperimentasi. Hassan Hanafi, Oksidentalisme, terj. M. Najib
Buchori, cet. I, (Paramadina: Jakarta Selatan, 2000),hlm. 128
[7] Fazlur Rahman menjelaskan bahwa pada prinsipnya al-Qur’an lebih
menekankan pada aspek praksis dan rumusan-rumusan etis suatu tatanan
sosial-kemasyarakatan Islam. Kandungan di dalamnya lebih banyak mengajarkan
totalitas penghambaan kebada Tuhan secara doktrinal, tanpa harus melakukan
penalaran filosofis lebih jauh. Konsekuensinya, corak nalar Islam tidak pernah
benar-benar menjadi teori filosofis murni. Maka wajar jika diskursus teologi
Islam cenderung bertegangan (dialektis) di antara ranah doktrinal dan
filosofis. Lihat: Fazlur Rahman, Islam, cet. II, (The University of
Chicago Press: USA, 1979) hlm. 85
[8]Hassan Hanafi, Oksidentalisme, hlm. 126
[9]Mohamed al-Mestiri, Jadal at-Ta’tshîl wa al-Mu`âshirah, hlm. 11
[10]Ibid..
[11]Ibid.,hlm. 12
[12]Ibid.,hlm. 17
[13] Para sejarawan berbeda pendapat terkait asal-usul, penyebab, dan
penyebaran gerakan sekulaisasi Barat. Terdapat empat asumsi dalam melacak
genealogi sekularisme Barat. Pertama, banyak sejarawan mengidentifikasi
bahwa geliat sekularisme di Eropa, kususnya Jerman dan Prancis, bahkan Inggris,
terjadi sejak abad Pencerahan (Enlightenment). Kedua, sekulerisme merebak di Eropa sejak Revolusi
Industri yang mengakibatkan terjadinya urbanisasi masyarakat desa menuju kota. Ketiga,
sekularisme dimulai sejak pertengahan abad ke-19, yaitu saat mulai
menggeliatnya perkembangan ilmu pengetahuan (science), filsafat, dan
studi-studi agama secara lebih diskursif. Dalam hal ini, Charles Darwin menjadi
figur sentral kemunculan sekularisme dan penerbitan buku On The Origin of Species
(1959) sebagai moment historisnya. Keempat, sekularisme Barat
terjadi sejat tahun 1960-an, yaitu masa ketika pelbagai ritual keagamaan di
greja mengalami penurunan secara drastis. Hugh McLeod, Secularization in
Western Europa, cet. I, (London:Macmillan Press, 2000), hlm. 4-5
[14] Thomas Hidya Tjaya, Humanisme dan Skolastisisme, cet. V, (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), hlm. 17
[15]Sekularisme bisa dipahami dalam dua bentuk.
Pertama, sekularisme politik (political secularization) yang
merujuk pada institusi publik dan konvensi-konvensi politik yang memberikan
perhatian pada isu-isu seputar sejarah pemisahan antara negara dengan agama
(gereja). Kedua, sekularisme-sosial (social secularization) yang
lebih memberikan perhatian pada persoalan nilai, kultur-kebudayaan, dan prilaku
sosial.Sekularisasi politik sendiri banyak berkutat pada aspek-aspek
institusional dan formal, sedangkan sekularisasi sosial bercorak informal dan
lebih memperhatikan konfigurasi sosial-kultural. Bryan
S. Turner,“Religion in Post-Secular Society”,dalam Bryan S. Turner (ed.), The
Sociology of Religion, cet. I, (UK: Wiley-Blackwel, 2010), hlm. 651
[16] Istilah ‘post’ ini sendiri bisa
dimaknai sebagai proyek lanjutan dari modernitas untuk menambal
kecacatan-kecacatan yang diimplikasikannya, namun tetap memiliki keyakinan
terhadap pelbagai capain modernitas itu sendiri. Istlah tersebut bisa juga
dimaknai sebagai upaya ‘melampaui’ modernitas, dengan menghadirkan suatu
paradigma baru yang bertolak belakang.
[17]Mohamed al-Mestiri, Jadal at-Ta’tshîl wa al-Mu`âshirah, hlm. 17
[18]Ibid.,hlm. 17-18
[19]Ibid..hlm. 18
[20]Ibid.,hlm. 19-20
[21]Muhammad Abed al-Jabiri, Takwîn al-`Aql al-`Arabiy, cet. X, (Beirut:
Markaz Dirasat al-Wahdah al-`Arabiah, 2009), hlm. 17-18
[22]Hassan Hanafi, Oksidentalisme, hlm. 134
[23]Mohamed al-Mestiri, Jadal at-Ta’tshîl wa al-Mu`âshirah, hlm.
20-21
[24]Ibid.,hlm. 22
[25]Ibid.,hlm. 23
[26] Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an,cet. II, (Yogyakarta:Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm. 116-117
[27] Mohamed al-Mestiri, Jadal at-Ta’tshîl wa al-Mu`âshirah, hlm. 24
[28]Ibid.,hlm. 26
[29]Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan.
[30]Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
[31]Jikalau Tuhanmumenghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.
[32]Ibid.,hlm. 26-27
[33]Ibid.,hlm. 28-29
[34]Ibid.,hlm. 29-30
[35]Ibid.,hlm. 32-33
Otentisitas dan Aktualitas dalam Pemikiran al-Mestiri
Reviewed by adeardo
on
12.11
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar