Al- jarh wa At-ta’dil
PENDAHULUAN
Al- jarh wa
At-ta’dil adalah suatu ilmu yang sangat penting untuk dipelajari terutama bagi
orang-orang yang menekuni bidang hadits, sebab ilmu itu adalah sebagai
timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang berat timbangannya, diterima
riwayatnya; dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu
ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima haditsnya dan dapat
membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.
Memang ada
sebagian dari pada ulama beranggapan bahwa al-jarh wa at-ta’dil ini termasuk
perbuatan ghibah atau menggunjing, hal ini terbukti dengan perkataan Abu Turab
an-Nakhsyubi az-Zahid kepada imam Ahmad bin Hanbal, “ Ya Syaikh, jangan
menggibah para ulama!” namun Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “ Celaka kamu, ini
adalah nasihat. Ini bukan ghibah.[1]
Namun walaupun begitu, para ulama’ hadits tetap melakukan penilaian kriteria
para perawi hadits dengan ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini agar kebenaran
terungkap dan kebathilan pun hilang.
Seandainya para
tokoh kritikus rawi tidak mencurahkan segala perhatiannya dalam masalah ini
dengan meneliti keadilan para rawi, menguji kekuatan hapalan dan ingatannya,
hinngga untuk itu mereka tempuh rihlah yang panjang, menanggung kesulitan yang
besar, meninggalkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap para rawi pendusta
yang lemah dan kacau hafalannya, seandainya bukan usaha mereka, niscaya akan
menjadi kacau balaulah urusan islam, orang-orang zindik akan berkuasa, dan para
Dajal akan bermunculan.[2]
*******
A. Pengertian
Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Kalimat al-jarh
wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua
kata, yaitu al-jarh dan al-‘adl. Al-jarh secara bahasa merupakan bentuk
mashdar, dari kata jaraha-Yajrahu, yang berarti “seseorang membuat luka
pada tubuh orang lain yang di tandai dengan mengalirnya darah dari luka itu”.
Dikatakan juga dengan hakim atau yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan
sifat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.[3]
Adapun al-‘adl secara
etimologi berarti ”sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus”,
merupakan lawan dari “lacur”. Orang adil berarti orang Yang diterima
kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif. Adapun
secara terminologi, al-‘adl berarti orang yang tidak memiliki sifat yang
mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.[4]
Para Muhadditsin
berpendapat bahwa jarh itu ialah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga
mengangkat atau mencacatkan ‘adalah atau ke-dhabit-annya. Sedangkan ta’dil
ialah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan
menghukuminya bahwa ia adil dan dhabit.[5]
Dengan demikian,
ilmu al-jarh wa at-ta’dil berarti:
العلم
الذي يبحث في احوال الرواة من حيث قبول رواياتهم او ردها
“Ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima
atau ditolak riwayat mereka”[6]
Hasby
as-Shiddieqy mengatakan dalam karyanya bahwa ilmu Jarh wa at-Ta’dil itu adalah :
“ Ilmu yang menerangkan tentang
hal cacat-cacat yang dihadapkan para perawi dan tentang penta’dilannya
(memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang
martabat kata-kata itu.”[7]
Berdasarkan
pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-ta’dil
merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadits yang membahas cacat
atau adilnya seseorang yang meriwayatkan hadits yang berpengaruh besar terhadap
klasifikasi haditsnya.[8]
B. Urgensi ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa
at-ta’dil itu sangat penting untuk dipelajari, karena ilmu itu sangat
bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima
atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli
sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila
seorang rawi dipuji sebagai seseorang yang adil, niscaya periwayatannya
diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits terpenuhi.
Kalaulah ilmu
al-jarh wa at-ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan
muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama.
Padahal, perjalanan hadits semenjak Nabi Muhammad SAW. sampai dibukukan
mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi
yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW., kemurnian sebuah hadits
perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian
dibidang politik, masalah ekonomi dan
masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadits. Akibatnya,
mereka meriwayatkan suatu hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW., padahal
riwayatnya ada riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentinga
golongannya.[9]
Jika kita tidak
tau benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara
hadits yang benar-benar dari Rasulullah dan hadits yang palsu ( maudhu’ ).
Dengan
mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana
hadist sahih, hasan, maupun hadits dhaif, terutama dari segi kualitas rawi,
bukan dari matannya.
C. Sejarah
perkembangan Ilmu al-Jarh wa At-Ta’dil
Mencela para
rawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terperdaya
dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak dari zaman sahabat. Diantara
para sahabat yang membahas keadaan para perawi hadits adalah Ibnu Abbas (68 H),
Ubadah Ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H). Di antara tabi’in ,
adalah Asy-Sya’bi (103 H), Ibnu Sirin ( 110 H), Said ibnu al-Musayyab (94 H).
Dalam masa itu,
masih sedikit orang yang dicela, mulai abad ke-2 H., barulah banyak orang-orang
yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng’irsalkan hadits, adakalanya
karena merafa’kan hadits yang sebenarnya mauquf, dan adakalanya karena beberapa
kesalahan yang tidak disengaja, semisal Abu Harun al-Abdhary (143 H.).[10]
Sesudah berakhir
masa tabi’in yaitu pada kira-kira tahun 150 H, para ahli mulai membahas
keadaan-keadaan perawi, men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan
mereka.di antara ulama besar yang memberikan perhatian bidang ini adalah Yahya
ibnu Said al-Qhaththan (189 H), dan Abdurrahman ibnu Mahdy (198 H.). setelah
itu , Yazid ibnu Harun (189 H.), Abu Daud at-Thayalisy (204 H.), dan Abd
ar-Razzaq ibnu human (211 H.).[11]
Sesudah itu,
barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarh dan ta’dil yang didalamnya
diterangkan keadaan para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan ditolak. Di
antara pemuka-pemuka jarh dan ta’dil, adalah Yahya Ibnu Ma’in (233 H), dan
masuk kedalam angkatannya, Ahmad ibnu Hanbal (241 H), Muhammad ibnu Sa’ad (230
H), Ali ibnu al-Madiny (234 H), Abu Bakar ibnu Abi Syaibah (235 H), Ishaq ibnu
Rahawaih (237 H), sesudah itu, Ad-Darimy (255 H), Al-Bukhori (256 H), AL-Ajaly
(261 H), Muslim (261), Abu Zur’ah ( 264 H), Abu Hatim ar-Razy (277 H), Abu Daud
(275 H), Baqi ibn Makhlad (276 H), Abu Zur’ah ad-Dimasyqy (281 H).
Hal ini terus
berlanjut, pada tiap-tiap masa terdapat ulama yang memperhatikan keadaan para
perawi, hingga sampailah kepada Ibn Hajar al-Asqalany ( 852 H).
D. Faktor-faktor yang mendorong kritik perawi
Penyebab dan
dorongan untuk mengeritik perawi berbeda-beda berdasarkan perbedaan pandangan
para ulama yang mengkritik. Mereka sepakat mengeritik seorang perawi. Terkadang
terjadi perbedaan, yaitu sebagian ulama menjarh dan sebagian lainnya menta’dil.
Di antara para ulama ada yang begitu ketat (Mutasyaddid) menilai seorang perawi. Penilaian ketat
kepada seorang perawi itu sangat diharuskan karena masalah al-Jarh wa at-Ta’dil sangat penting dan berkaitan dengan sumber
agama kedua. Sebagian ulama ada yang bersikap tengah-tengah dan sebagian lagi
ada yang bersikap longgar (Mutasahil). Oleh karena itu, terkadang kita menemukan
kesepakatan penilaian di antara mereka, tetapi adakalanya kita menemukan
perbedaan penilaian di antara mereka. Mereka yang telah sepakat mengkritik
jarh, tidak akan mengkritik baik (ta’dil), begitu pula sebaliknya.
Perbedaan-perbedaan itu disebabkan perbedaan penilaian. Disatu pihak ada ulama
yang menilai baik kepada seorang perawi, namun ada juga yang menilai jelek
padanya. Karena itu, kita tidak boleh menyebutkan penilaian buruk berdasarkan
penilaian seseorang dan juga tidak boleh menyebutkan penilaian baik berdasarkan
penilaian seseorang.[12]
Permasalahan al-jarh
wa at-ta’dil ini sangat
penting, sehingga Imam Ibnu Hajar mencoba mengkaji faktor-faktor yang mendorong
tajrih ini dalam beberapa factor, di antaranya: [13]
1.
Tajrih karena penganut bid’ah
2.
Tajrih karena menyalahi rawi terpercaya
3.
Tajrih karena kekeliruan
4.
Tajrih karena tidak diketahui identitasnya
5.
Tajrih karena terputus sanad
E. Buku-buku yang memuat tentang ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
Mengingat
penetapan shahih dan dla’ifnya hadits didasarkan pada beberapa perkara, antara
lain kedhabitan dan keadilan para perawi, atau cacatnya keadilan dan kedhabitan
mereka, maka para ulama telah menyusun berbagai kitab yang menjelaskan mengenai
keadilan dan kedhabitan para perawi, yang diambil dari para imam mu’addil (yang
ahli dalam menetapkan keadilan atau cacat seseorang-pen) dan terpercaya.
Ini dikenal dengan nama at-ta’dil. Selain itu juga disusun berbagai
kitab yang menjelaskan cacatnya aspek keadilan sebigian perawi, termasuk
kedhabitan dan hafalan mereka, yang diambil dari para imam yang tidak memiliki
sifat fanatik terhadap golongan. Ini dikenal dengan nama al-jarh. Dari
sini pula kitab-kitab tersebut dinamakan kitab-kitab al-jarh wa at- ta’dil.
Kitab-kitab
semacam ini sangat banyak dan bermacam-macam. Ada yang menjelaskan para perawi
tsiqah; ada juga ynag menjelaskan para perawi dha’if yang cacat; namun ada juga
yang menjelaskan keduanya. Disisi lain, sebagian kitab-kitab itu ada yang
bersifat umum menyebut para perawi hadits tanpa memperhatikan lagi rijal
kitabnya, atau kitab-kitab tertentu dari kitab-kitab hadits. Tapi, ada pula
yang khusus memuat biografi para perawi kitab tertentu dari kitab-kitab hadits.[14]
Apa yang
dilakukan oleh para ulama jarh dan ta’dil dalam menyusun kitab-kitab tersebut
merupakan pekerjaan yang amat bernilai dan amat melelahkan. Mereka melakukan
penelusuran yang akurat untuk mengetahui biografi seluruh rawi hadits; dan
menjelaskan jarh dan ta’dil terhadap para perawi hadits- sebagai langkah awal-.
Setelah itu menjelaskan siapa saja yang mengambil hadits darinya, dan siapa
pula yang mengambil dari mereka, kemana saja mereka berpergian, kapan
perjumpaan mereka dengan para syeikh (guru-guru mereka), dan memastikan masa
mereka hidup; semua itu dilakukan para ulama jarh dan ta’dil, dengan upaya dan
pencapaian yang tidak pernah dilakukan dan dicapai oleh umat-umat lain; bahkan
umat yang ada pada masa sekarang ini pun tidak sanggup untuk mendekati apa yang
telah disusun oleh para ulama hadits, yang telah meletakkan semacam ensiklopedi
yang amat besar tentang biografi para rijal dan perawi hadits; mereka
menghapalnya sepanjang hari untuk mengetahui secara sempurna para perawi hadits
dan penyampaiannya.[15]
Adapun sebagian
dari kitab-kitab mereka antara lain: [16]
1. Tarikh
al-Kabir, karya Bukhari. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang
dha’if.
2. Al-Jarhu
wa at-Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah
maupun yang dha’if, ,menyerupai kitab sebelumnya.
3. Ats-Tsiqaat,
karya Ibnu Hibban. Kitab yang khusus memuat para perawi tsiqah.
4. Al-Kamil
fi ad-Dhu’afa, karya Ibnu ‘Adi. Kitab ini khusus memuat biografi rawi-rawi dha’if,
sebagaimana terpampang pada judul kitab.
5. Al-Kamil
fi Asma-I ar-Rijal, karya Abdul Ghani al-Muqaddisi. Kitab umum, tetapi khusus
memuat para perawi hadits yang terdapat dalam kutub as-sittah.
6. Mizan
al-I’tidal, karya adz-Dzahabi. Kitab yang khusus memuat rawi-rawi dha’if dan
matruk (yaitu setiap rawi yang dijarh, meski jarhnya tidak bisa diterima).
7. Tahdzib
at-Tahdzib, karya Ibnu Hajar. Merupakan ringkasan dari kitab al-Kamil fi Asma-I
ar-Rijal.
F. Syarat Ulama al-Jarh wa at-Ta’dil
Seorang ulama
al-Jarh wa at-ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya
objektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya
yakni sebagai berikut:[17]
a. Berilmu,
bertakwa, wara’ dan jujur. Karena apabila ia tidak memiliki sifat-sifat ini,
maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-Jarh wa at-Ta’dil yang
senantiasa membutuhkan keadilannya.
Al-Hafidz berkata: “
Seyogyanya al-Jarh wa at-Ta’dil tidak diterima kecuali dari orang yang adil dan
kuat ingatannya, yakni orang yang mampu mengungkapkan hadits dan kuat
ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengan tepat terhadap
hadits yang ia ucapkan.”
b. Ia
mengetahui sebab-sebab al-Jarh wa at-Ta’dil. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan
dalam Syarah an-Nukhbah, “Tazkyah (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat
diterima apabila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan
dari orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya
dengan apa yang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan
memeriksanya.”
c. Ia
mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa arab, sehingga suatu lafadz yang
digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh dengan lafadz yang
tidak sesuai untuk men-jarh.
Agus Solahuddin
dan Agus Suyadi menjelaskan dalam bukunya bahwa syarat-syarat bagi ulama
al-Jarh wa at-Ta’dil yaitu:[18]
a. Berilmu
pengetahuan
b. Takwa
c. Wara’
(orang yang selalu menjauhi perbuatan
maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-makruhat)
d. Jujur
e. Menjauhi
fanatik golongan
f. Mengetahui
sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
G. Tingkatan al-Jarh wa at-Ta’dil
Ibnu Abi Hatim
dalam bagian pendahuluan kitabnya al-Jarh wa at-Ta’dil telah membagi tingkatan al-Jarh
wa at-Ta’dil menjadi empat bagian berikut penjelasan hukumnya. Lalu para ulama
menambah lagi dengan dua tingkatan, sehingga menjadi enam tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan
Ta’dil dan lafazh-lafazhnya serta hukumnya
a. Lafazh
yang menunjukkan mubalaghah (kelebihan) dalam hal ketsiqahan (keteguhan), atau
wazan yang mengikuti wazan af’ala. Contohnya: fulanun ilaihi
al-muntaha fi at-tsabbut (si fulan itu paling tinggi keteguhannya) atau fulanun
atsbata an-nas (si fulan itu termasuk orang yang paling teguh).
b. Lafazh
yang memperkuat salah satu sifat atau dua sifat tsiqah. Seperti, tsiqatun
tsiqah (orang yang sangat-sangat tsiqah), atau tsiqatun tsabitun
(orangnya tsiqah dan teguh).
c. Lafazh
yang menunjukkan ketsiqahan tanpa ada penguatan. Seperti, tsiqatun
(orangnya tsiqah) atau hujjatun (orangnya ahli argument).
d. Lafazh
yang menunjukkan ta’dil tanpa menampakkan kedhabitan. Seperti Shaduqun
(orangnya jujur) atau yang sama kedudukannya dengan shaduq, atau la
ba’sa bihi yang diungkapkan oleh selain Ibnu Ma’in, karena lafadz itu bagi
Ibnu Ma’in mempunyai arti tsiqah.
e. Lafazh
yang tidak menunjukkan ketsiqahan atau menunjukkan tidak adanya jarh.
Contohnya, fulanun syaikhun (si fulan itu seorang guru), atau ruwiya
‘anhu an-nas (manusia meriwayatkan darinya).
f. Lafazh
yang mendekati adanya jarh. Seperti, fulanun shalih al-hadits (si fulan
itu haditsnya shalih), atau yuktabu haditsuhu ( orang yang haditsnya
dicatat).[19]
Adapun
hukum tingkatan-tingkatan tersebut ialah sebagai berikut:
a. Untuk
tiga tingkatan yang pertama, orang-orangnya dapat dijadikan sebagai hujjah,
meski sebagian dari mereka kekuatannya berbeda dengan sebagian lainnya.
b. Untuk
tingkatan yang keempat dan kelima, orang-orangnya tidak bisa dijadikan hujjah.
Meski demikian, haditsnya bisa dicatat dan diberitakan, walaupun mereka tergolong
tingkatan yang kelima, bukan yang keempat.
c. Untuk
tingkatan keenam, orang-orangnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Meski
demikian hadits-hadits mereka dicatat hanya sebagai pelajaran, bukan sebagai
sebuah berita (hadits yang bisa diriwayatkan), ini karena menonjolnya
ketidakdhabitan mereka.[20]
2. Tingkatan
Jarh dan lafazh-lafazhnya serta hukumnya
a. Lafazh
yang menunjukkan lunak (yaitu yang paling ringan jarhnya). Contohnya, fulanun
layyinun al-hadits (si fulan haditsnya lunak), atau fihi maqolun (di
dalamnya diperbincangkan).
b. Lafazh
yang menunjukkan tidak dapat dijadikan hujjah, atau yang serupa. Contohnya, fulanun
la yuhtaju bihi (si fulan tidak dapat dijadikan hujjah), atau dha’if
(lemah), atau lahu manakir (dia haditsnya munkar).
c. Lafazh
yang menunjukkan tidak bisa ditulis haditsnya, atau yang lainnya. Contohnya, fulanun
la yuktabu haditsuhu (si fulan haditsnya tidak bisa dicatat), la tahillu
riwayatu ‘anhu (tidak boleh meriwayatkan hadits darinya), dha’if jiddan
(amat lemah), wahn bi marratin (orang yang sering melakukan
prasangkaan).
d. Lafazh
yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta, atau yang sejenisnya. Contohnya,
fulanun muttahamun bi al-kadzib (si fulan orang yang dituduh berbuat
dusta), muttahamun bi al-wadl’i (orang yang dituduh berbuat palsu), atau
yasriqu al-hadits (yang mencuri hadits), atau saqitun (gugur),
atau matruk (ditinggalkan), atau laisa bi tsiqatin (tidak
tsiqah).
e. Lafazh
yang menunjukkan adanya perbuatan dusta, atau yang semacamnya. Contohnya, kadzdzab
(pendusta), atau dajjal, atau wadh’a (pemalsu), atau yukadzdzibu
(didustakan), atau yadha’u (pembuat hadit palsu).
f. Lafazh
yang menunjukkan adanya mubalaghah dalam perbuatan dusta. Dan ini tingkatan
yang paling buruk. Contohnya, fulanun akdzabu an-nas (si fulan itu orang
yang paling pendusta), atau ilaihi al-muntaha fi al-kadzbi (dia orang
yang menjadi pangkalnya dusta), atau huwa ruknu al-kadzbi (dia orang
yang menjadi penopang dusta).[21]
Adapun
hukum tingkatan-tingkatan tersebut ialah sebagai berikut:
a. Untuk
dua tingkatan yang pertama, maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
orang-orang itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, akan tetapi hadits-hadits
mereka bisa ditulis sebagai pelajaran saja, meski mereka itu termasuk kelompok
tingkat yang kedua, bukan yang pertama.
b. Sedangkan
yang termasuk empat tingkat terakhir, hadits-hadits mereka tidak bisa dijadikan
hujjah, bahkan tidak boleh ditulis, dan tidak boleh dijadikan sebagai
pelajaran.[22]
H. Pertentangan antara al-Jarh wa at-Ta’dil
H. Pertentangan antara al-Jarh wa at-Ta’dil
Terkadang,
pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama
bisa saling bertentangan. Sebagian men-tajrih-kannya dan sebagian lainnya
men-ta’dil-kannya. Bila keadaannya seperti itu, diperlukan penelitian lebih
lanjut tentang keadaan sebenarnya.
Dalam masalah
ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut:
a. Al-Jarh harus didahulukan
secara mutlak, walaupun jumlah mu’addil-nya lebih banyak dari
pada jarh-nya. Sebab, jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang
tidak diketahui oleh mu’addil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil
tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarih
memberitakan urusan bathiniyah yang tidak diketahui oleh si mu’addil.
Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama.
b. Ta’dil didahulukan dari pada jarh,
bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena banyaknya yang men-ta’dil
bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut Ajjaj al-Khathib,
pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang men-ta’dil meskipun lebih
banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang men-tajrih.
c. Bila
jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa
didahulukan, kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya,
yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat di
antara keduanya.
d. Tetap
dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tajrih-kan. [23]
PENUTUP
Dari penjelasan
di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil adalah “Ilmu yang
membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka”.
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil itu sangat penting untuk dipelajari, karena ilmu itu
sangat bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat
diterima atau harus ditolak sama sekali
Ilmu ini telah
tumbuh sejak zaman sahabat, namun baru dikodifikasikan pada masa setelah masa
tabi’in, di antara para tokohnya adalah Yahya ibnu Ma’in, Ahmad ibnu Hanbal
dll. Dan di antara kitab-kitab yang membahas tentang ilmu ini ialah: Tarikh
al-Kabir, karya Bukhari. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang
dha’if dan Al-Jarhu wa at-Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim. Kitab umum yang memuat
para perawi tsiqah maupun yang dha’if, ,menyerupai kitab sebelumnya.
Banyak syarat
yang harus dipenuhi untuk menjadi ulama al-Jarh wa at-Ta’dil, di antaranya adalah:
Berilmu pengetahuan, takwa, wara’ (orang yang
selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan
makruhat-makruhat), jujur, menjauhi fanatik golongan, mengetahui sebab-sebab
untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
Al-Jarh wa
At-ta’dil mempunyai berbagai macam tingkatan, mulai dari tingkat tertinggi
hingga yang terendah. Adakalanya antara al-jarh dan at’dil juga terjadi
pertentangan, namun tetap ada solusi untuk hal itu. Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
juga mempunyai lafazh-lafazh tertentu untuk mengetahui tingkatan jarh dan
ta’dilnya.
Demikianlah
makalah kami ini, apabila terdapat kesalahan dan kekhilafan baik dalam
penulisan maupun hal lain, kami mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
‘Itr , Nuruddin, ‘Ulumul Hadits, Bandung: PT REMAJA
ROSDA KARYA, 2012.
Sholahuddin,
M. Agus dan Suyadi, Agus, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
As-shiddieqy,
T.M. Hasby, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
fayyad,
Mahmud Ali, Metodologi penetapan kesahihan hadits, Bandung: Pustaka Setia,
1998.
Thahan,
Mahmud, Ilmu Hadits Praktis, Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2005
[1] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits,
Bandung: PT REMAJA ROSDA KARYA, 2012, hlm. 85.
[2] Ibid.
[3] M. Agus Sholahuddin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 157.
[4] Ibid, hlm. 158.
[5] Nuruddin ‘Itr, op.cit,
hlm. 84
[6] M. Agus Sholahuddin dan Agus
Suyadi, op.cit, hlm 158.
[7] T.M. Hasby as-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 115.
[8] M. Agus Sholahuddin dan Agus
Suyadi, op.cit, hlm 158.
[9] Ibid. hlm. 159.
[10] T.M. Hasby as-Shiddieqy, op.cit,
hlm. 115
[11] Ibid, Hlm. 116.
[12] Mahmud Ali Fayyad, Metodologi
penetapan kesahihan hadits, Bandung: Pustaka Setia, 1998, hlm. 59.
[13] Ibid, hlm. 60.
[14] Mahmud Thahan, Ilmu Hadits
Praktis, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005, hlm. 193.
[15] Ibid, hlm. 193-194.
[16] Ibid, hlm. 194.
[17] Nuruddin ‘Itr, op.cit. hlm.
85-86.
[18] M. Agus Solahuddin dan Agus
Suyadi, op.cit. hlm. 162.
[19] Mahmud Thahan, op.cit.
hlm. 195-196.
[20] Ibid, hlm 196.
[21] Ibid, hlm. 197.
[22] Ibid, hlm. 197-198.
[23] M. Agus Solahuddin dan agus
Suyadi, op.cit. hlm. 163.
Al- jarh wa At-ta’dil
Reviewed by adeardo
on
16.39
Rating: